|
Ada beberapa cara yang bisa kita pilih dalam kaitannya dengan pengelolaan sampah. Bahkan, beberapa diantaranya juga bisa disebut ramah lingkungan. Sanitary landfill, misalnya. Teknologi ini telah diterapkan di beberapa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah milik pemerintah, salah satunya adalah Bantargebang, Bekasi. Prinsip kerja system ini adalah mengisolasi sampah dari lingkungan sekitar, dengan cara menimbun sampah yang sudah dipadatkan dengan tanah. Sampah dimasukan ke sebuah bak penampungan yang berukuran besar serta sudah dilapisi plastik khusus (geotextile), agar air lindi yang dihasilkan sampah organik tidak merembes tanah sehingga mencegah kontaminasi air tanah. Pemusnahan dilakukan dengan cara menimbun sampah setinggi 6-12 meter dengan tanah yang dibuat berlapis-lapis. Setiap lapisan merupakan timbunan sampah setinggi dua meter, di mana di bagian atas dilapisi tanah merah setinggi 30 sentimeter. Jika ditotal, keseluruhannya terdapat sekitar enam lapisan sampah dan tanah, yang kemudian ditutup dengan tanah setebal satu meter. Diantara lapisan-lapisan itu harus dibuat ventilasi agar gas metan yang dihasilkan fermentasi sampah bisa keluar. Jika tidak, bahaya kebakaran, yang muncul dari dalam timbunan sampah, akan mengancam lokasi. Sementara untuk air lindi, ditampung dan disalurkan ke instalasi pengolahan air sampah. Limbah cair ini bisa dibuang ke kali atau sungai terdekat bila baku mutunya di bawah ambang batas. Teknologi sanitary landfill ini memang bukan yang mutakhir. Masih ada beberapa system yang lebih modern ketimbang cara ini, seperti bala pres, incinerator, atau bahkan yang lebih dahsyat lagi, seperti yang digunakan di TPA Suwung Denpasar, Bali, dimana sampah kemudian dijadikan pembangkit tenaga listrik. Hanya saja, ongkos untuk system ini memang tidaklah murah, walau hasilnya pun bisa dibilang luar biasa. Teknologi bala pres, sampah non-organik dipadatkan dan dikemas dalam plastik film putih yang tahan lama, kedap udara dan tahan air. Bulatan berdiameter 1,2 meter itu ditimbun dalam tanah. Sementara bila kita menggunakan incerator (tungku pem-bakaran), sampah padat dibakar dengan temperatur tinggi, bisa mencapai 5.000 derajat celcius. Model incerator ini, memang tengah disosialisasikan di DKI Jakarta. Menurut salah seorang pembuat incerator yang dijadikan sebagai program pemerintah Kota Jakarta Selatan, M Ampera Riono, tungku pembakaran ini sebenarnya untuk konsumsi rumah sakit, sebagai alat penghancur limbah berbahaya, seperti infeksius. Namun belakangan, seiring perkembangan zaman dan kebutuhan, incinerator juga mulai digunakan untuk menghancurkan sampah organic,kata Ampera. Ditambahkan pria yang tinggal di bilangan Kebayoran Lama ini, incinerator cukup ramah lingkungan dan mampu menghabiskan sampah dalam waktu relative cepat. Bahkan, abu sisa pembakaran sampah itu bisa dijadikan batako atau paving block. Jadi, dengan ongkos produksi yang tak terlalu tinggi, model pengelolaan sampah ini pun bisa menghasilkan produk,jelas Ampera. Teknologi yang cukup wahid adalah penggabungan tiga alternative pengelolaan sampah; sanitary landfill, anaerobic digestion (penghancuran menggunakan mikro-organisme), dan gasification (pemanasan bersuhu tinggi tanpa oksigen). Instalasi termodern di Indonesia ini baru ada satu, yakni di TPA Suwung, Denpasar yang dibiayai oleh investor asal Inggris, PT Navigate Organic Energy Indonesia (PT NOEI), dengan nilai investasi lebih dari Rp. 180 miliar. Teknik ini mampu menjadikan sampah sebagai pembangkit tenaga listrik, dengan perhitungan mengolah 1.500 meter kubik sampah per hari, maka akan menghasilkan 5-8 megawatt. Semakin tinggi volume sampah, akan semakin tinggi pula daya listrik yang dihasilkan. Teknologi ini, mestinya dilirik pemerintah, karena memiliki dampak positif yang sangat baik bagi masyarakat. PT NOEI sudah melakukan kerja sama menjual listrik kepada PLN Bali, dengan harga yang relative murah. Artinya, sudah terjadi pengurangan ongkos produksi PT PLN, yang mestinya, jika dilakukan untuk seluruh Indonesia, tarif listrik yang dipatok sekarang akan turun drastis. Post Date : 31 Juli 2005 |