|
NUSA DUA(SINDO) Dua negara emiten terbesar dunia Amerika Serikat (AS) dan China belum siap untuk terikat dalam kesepakatan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) global. Perkembangan terakhir Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) menunjukkan adanya tiga kelompok besar di Bali. Menurut Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer, kelompok pertama menginginkan komitmen mengikat. Kelompok kedua menginginkan komitmen mengikat negara maju, sementara kelompok ketiga menginginkan komitmen mengikat dari seluruh negara. Terhadap ketidaksiapan AS dan China untuk terikat,Yvo de Boer tidak terlalu mempermasalahkan. Pertemuan ini tidak akan mengantarkan kita pada hasil yang lengkap, tetapi pada awal dari bergeraknya roda perundingan,kata pria asal Belanda itu di Nusa Dua kemarin. Menurut De Boer,pertemuan tingkat tinggi UNFCCC mulai pekan ini akan terasa penting karena dihadiri presiden, perdana menteri,dan menteri lingkungan hidup dari seluruh delegasi. Untuk menghasilkan kesepakatan bersama dalam jangka waktu dua tahun saja bisa disebut terlalu ambisius, apalagi dalam waktu dua pekan, tutur De Boer. Pertemuan sepanjang dua pekan yang dihadiri 192 negara itu diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan untuk pengganti Protokol Kyoto yang akan berakhir pada 2012 atau Bali Roadmap. Dalam upaya menuju ke sana,negara yang tergabung dalam Annex I sesuai Protokol Kyoto akan diminta untuk menurunkan emisi GRK dengan kisaran sebesar 2540% di bawah level tahun 1990 pada 2020 dan emisi GRK global harus turun sebesar separuh level tahun 2000 pada 2050. Namun, De Boer tidak yakin hal itu akan disepakati di Bali. Sebelumnya, kalangan LSM yang hadir di Bali terus berupaya menekan negara maju agar menunjukkan komitmen mengikat. Direktur Jaringan Aksi Iklim Internasional (CAN) Eropa Matthias Duwe mengatakan, di Bali harus dinyatakan secara tegas komitmen negara maju seperti AS, Jepang, dan Kanada untuk pengurangan emisi gas rumah kaca.Terutama dalam memenuhi target pengurangan emisi 2540% dari level tahun 1990 pada tahun 2020. Mereka belum menyatakan target berapa emisi yang harus dikurangi, tegas Duwe. Pada sisi lain, Indonesia mendukung usulan India tentang perlunya time frame (kerangka waktu) transfer teknologi yang lebih spesifik.Tujuannya agar negara-negara maju tidak mengulur komitmen mereka. Kenapa dia (India) perlu itu karena maksudnya jangan diulur-ulur. Jadi India itu mengatakan sebelum 2012 itu komitmen negara maju harusnya sudah dilaksanakan. Ya kayak gitu, kita sebenarnya juga setuju, terang anggota delegasi Indonesia dalam Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Masnellyarti Hilman di Nusa Dua, Bali, kemarin. Dalam pembahasan transfer teknologi di Subsidiary Bodies for Implementation (SBI) akhir pekan lalu, India mengusulkan adanya kerangka waktu spesifik untuk transfer teknologi. Hingga saat ini, pembahasan mengenai Expert Group on Technology Transfeer (EGTT),kata Masnellyarti,masih dalam tahap elaborasi. Sabar saja, ini memang namanya negosiasi, tuturnya. Menanggapi desakan dari Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (Alliance of Small Island States/AOSIS) yang menuntut adanya akses terhadap dana adaptasi, Masnellyarti memaklumi hal tersebut. Menurut dia, negaranegara kepulauan kecil adalah negaranegara yang memiliki dampak perubahan iklim yang cukup tinggi.Berdasarkan hasil pertemuan di Nairobi dan beberapa kota lain,negara-negara kepulauan kecil sudah masuk dalam kriteria vulnerable countries yang akan menerima dana adaptasi. Nanti tinggal dijalankan (hasil pertemuan sebelumnya). Dia merasa sebagai negara vulnerable countries, makanya dia ngotot banget,papar Masnellyarti. Sebelumnya, AOSIS mendesak seluruh negara yang hadir dalam UNFCCC di Bali, terutama negara Annex I, untuk mengambil langkah konkret mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Ketua AOSIS Angus Friday mengatakan, negara-negara kepulauan kecil telah mengalami dampak dari perubahan iklim. Kami sering mengalami cuaca ekstrem dan salah satunya adalah Karibia, papar Friday di Bali kemarin. (titis widyatmoko/maya sofia/syarifudin) Post Date : 10 Desember 2007 |