Arsenik Ancam Sumatera

Sumber:Koran Tempo - 18 Juli 2008
Kategori:Air Minum

PARIS -- Cukup dengan sejumput arsenik, atau dosis tepatnya 130 miligram, seorang manusia dewasa bisa langsung terbunuh. Dosis 0,05 sampai 0,30 gram pun dapat dianggap sebagai dosis mematikan jika diasup selama kurang-lebih 14 hari.

Tiga puluh menit setelah menelan arsenik dalam jumlah besar, gejala keracunan mulai ditunjukkan korban. Sensasi pertama berupa rasa logam dalam mulut, diikuti produksi air ludah yang berlebihan dan sulit menelan.

Tahap berikutnya, korban muntah dan mengalami diare parah dengan napas berbau bawang putih, keram perut, serta keluar keringat berlebihan. Ketika efek keracunan berlanjut, korban akan mengalami kejang, syok, dan meninggal dalam beberapa jam.

Gejala itu pula yang ditunjukkan Munir (almarhum) dalam penerbangannya ke Belanda pada 2004. Keracunan arsenik kemudian dibuktikan oleh institut forensik di Belanda, yang menemukan 465 miligram arsenik tersisa dalam lambungnya.

Sebenarnya bukan Munir seorang yang meninggal akibat keracunan arsenik. Puluhan juta orang di Bangladesh tercatat meninggal karena logam beracun itu, tapi mereka tewas karena mengkonsumsi air tanah yang terkontaminasi selama bertahun-tahun, bukan arsenik yang sengaja ditaruh dalam makanan atau minuman.

Beberapa wilayah di Bangladesh dan Kamboja memang diketahui sebagai daerah risiko tinggi kontaminasi arsenik pada air tanahnya, tapi tak ada yang tahu bagaimana risiko kontaminasi itu di negara Asia Tenggara lainnya karena belum ada metode untuk mengidentifikasi daerah risiko tinggi tanpa proses pengambilan sampel yang lama dan menguras anggaran.

Kini, sebuah lembaga riset asal Swiss berhasil mengembangkan sebuah model yang bisa menunjukkan daerah mana yang berisiko tinggi berdasarkan data geologi dan kandungan tanahnya. Untuk merumuskan pemodelan yang akurat, para peneliti yang tergabung dalam lembaga riset akuatik Eawag yang dipimpin geologis Lenny Winkel dan pakar lingkungan Michael Berg menyusun data geologi dari Bangladesh, Burma, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Sumatera (Indonesia).

Ternyata data sedimen permukaan dan kandungan tanah saja tak cukup untuk memetakan kondisi fisik dan kimia air tanah di negara-negara itu. Berg dan Winkel mempelajari 30 parameter permukaan, dari geologi, hidrologi, data iklim, sampai konsentrasi arsenik. Akhirnya mereka menemukan delapan variabel paling relevan sebagai model regresi logistik. Sebagai standar, mereka menggunakan ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO): 0,01 miligram arsenik tiap liter air.

Deposit sungai muda dengan sedimen kaya akan organik terbukti bisa menjadi indikator kontaminasi arsenik dalam air tanah. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Neuroscience pekan lalu itu juga memasukkan topografi rendah dan datar sebagai salah satu faktor penting. Kontaminasi arsenik jarang ditemukan pada daerah dataran tinggi yang berbukit.

Berbekal model komputer itu, peneliti bisa mendeteksi kondisi suatu daerah di kawasan yang air tanahnya belum pernah dipelajari. Hasil pemodelan itu sungguh mengejutkan. Bagian timur Pulau Sumatera, pada area seluas 100 ribu kilometer persegi, ternyata masuk kategori daerah berisiko tinggi terkontaminasi arsenik.

Untuk menguji prediksi model komputer tersebut, Eawag menerjunkan para penelitinya ke Sumatera dan mengambil 100 sampel air tanah di kawasan perbatasan antara daerah berisiko tinggi dan yang berisiko rendah seperti ditunjukkan peta itu. Analisis sampel air tanah membuktikan bahwa prediksi itu tepat; 94 persen sumur di daerah risiko rendah menunjukkan konsentrasi arsenik di bawah 10 µgram per liter (µg/L).

Tingginya kontaminasi di pesisir timur Sumatera yang landai itu disebabkan oleh banyaknya penggalian sumur amat dalam dan mengisap air di sedimen air yang mengalami masalah arsenik. "Peta prediksi ini alat yang berguna untuk mengidentifikasi daerah risiko kontaminasi arsenik, namun memahami geologi setempat adalah pertimbangan vital untuk daerah tertentu," kata Berg, peneliti dari dari Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology di Duebendorf.

Delta Irawadi di Burma juga mengalami nasib serupa. Sebelum prediksi dilakukan, tak ada yang mengira kawasan itu terkontaminasi arsenik. Verifikasi di lapangan membuktikan, banyak sumur air tanah yang memiliki konsentrasi arsenik melampaui standar WHO. Studi yang disokong Badan Bantuan untuk Anak-anak Dunia (Unicef) menemukan konsentrasi arsenik di sana lebih dari 50 µg/L pada dua pertiga sumur yang diambil sebagai contoh.

Studi itu memprediksi bahwa di Bangladesh--yang memiliki kontaminasi arsenik terburuk di dunia--risiko tertinggi pelanggaran batas WHO terdapat di bagian tengah selatan Bangladesh dan di timur laut daerah aliran Sungai Sylhet. Prediksi ini tepat dengan analisis sampel air yang sebelumnya diambil dari sumur artesis di Bangladesh.

Probabilitas tinggi terjadinya kontaminasi arsenik juga terlihat di kawasan Asia Tenggara lainnya, seperti daerah aliran Sungai Chao Praya di Thailand dan dataran sedimen subur di dekat Danau Tonle Sap di Kamboja. Peta itu mengindikasikan meningkatnya risiko peningkatan konsentrasi arsenik di delta Irawadi dan sepanjang Sungai Chao Praya.

Verifikasi terhadap 1.750 data air tanah yang tersedia dari delta Bengal, Mekong, dan Sungai Merah di Bangladesh memperlihatkan prediksi itu sesuai dengan kenyataan. Di delta Sungai Merah dan Mekong, Eawag mendeteksi konsentrasi arsenik melewati 100 µg/L dalam satu dari lima sampel yang dianalisis, dengan nilai maksimum setinggi 3.000 µg/L.

Berg menekankan bahwa daerah yang dikategorikan berisiko rendah dalam pemodelan bukan berarti risikonya nol. "Tak ada yang semacam itu," ujarnya.

Meskipun model ini nantinya dilengkapi lebih banyak data dari lapisan batuan yang lebih dalam, prediksi ini tak dapat menggantikan analisis sampel air. "Tapi berkat peta ini, pemerintah, pejabat setempat, atau lembaga kesehatan bisa mengetahui dengan cepat daerah mana yang penggalian sumurnya bisa menimbulkan masalah."

Di Bangladesh, puluhan juta penduduk berpotensi terpapar air yang mengandung arsenik, sehingga mendorong lonjakan penderita penyakit kulit, penyakit pernapasan, dan kanker. Risiko itu muncul dari jutaan sumur artesis dangkal yang digali antara 1970-an dan 1980-an, yang ironisnya merupakan upaya untuk menyediakan air bersih bagi penduduk pinggiran. TJANDRA DEWI | AFP | SCIENCEDAILY | EAWAG | BBC



Post Date : 18 Juli 2008