Apa Kabar RUU Sampah?

Sumber:Suara Pembaruan - 13 April 2005
Kategori:Sampah Jakarta
SAMPAH sudah menjadi ancaman yang sangat potensial bagi masyarakat. Lihat saja bencana ledakan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, yang menelan korban ratusan orang. Simak pula konflik masyarakat di sekitar lokasi tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bojong, Bogor, Jawa Barat.

Masalah sampah sudah bukan lagi sekadar masalah kebersihan dan lingkungan saja, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang mampu menimbulkan konflik. Lebih parah lagi, semua kota di Indonesia, baik kota besar atau kota kecil, tidak memiliki penanganan sampah yang baik.

Hampir semua kota di Indonesia memiliki manajemen sampah yang sama, kumpul-angkut-buang. Sebuah pengaturan klasik yang akhirnya menjadi praktik pembuangan secara terbuka di lokasi yang sudah ditentukan (open dumping).

Praktik itu memiliki kelemahan dan berakibat fatal terhadap lingkungan atau manusia di sekitar lokasi pembuangan, seperti yang terjadi di Leuwigajah. Belum lagi praktik itu membutuhkan lahan yang luas, padahal penyediaan lahan menjadi kendala utama dalam penanganan sampah, seperti yang terjadi di TPST Bojong, Bogor.

Lambat laun masalah sampah tidak hanya harus dihadapi warga yang tinggal di sekitar lokasi pembuangan sampah, tetapi juga akan berdampak langsung kepada warga perkotaan. Selain itu, pengelolaan sampah tidak lagi menjadi masalah satu kota saja, tetapi juga berkaitan dengan kota-kota lainnya.

Jakarta, sebagai kota metropolitan sangat bergantung pada kota-kota di sekitarnya untuk mau menampung sampah warganya. Setelah membuang sampah di Bekasi, kini berencana membuang di Bojong, namun ditolak keras.

Tidak ada standar yang tegas mengenai pengelolaan sampah di setiap kabupaten atau provinsi di Indonesia. Semua daerah berpegangan pada peraturan daerah masing-masing, sehingga penanganan sampah pun berbeda-beda pada masing-masing daerah. Selain itu pemerintah daerah pun lebih terjebak pada masalah retribusi dan sanksi-sanksi (denda) untuk meningkatkan pendapatan daerah mereka, dibanding dengan tanggung jawab manajemen pengolahan sampah yang dibebankan kepada mereka.

Sudah saatnya dibuat sebuah konsep menyeluruh penanganan sampah di wilayah Indonesia. Direktur Eksekutif Wahana Ling-kungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Slamet Daroyni, mengatakan, mekanisme otonomi daerah tidak bisa menjawab tantangan pengelolaan sampah di wilayahnya. "Sejak lima tahun lalu kami sudah mengampanyekan perlunya sebuah grand design penanganan sampah secara nasional. Penanganan sampah ada-lah kebutuhan mutlak," ujarnya saat dihubungi Pembaruan, Senin (11/4) lalu.

Namun, hingga kini belum ada konsep dasar yang membenahi penanganan sampah di Indonesia. "Mungkin setelah banyak korban yang jatuh akibat sampah, baru disadari betapa penting penanganan sampah secara menyeluruh," ia menambahkan.

Paradigma Baru

Sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) sudah mengkaji naskah akademis untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Sampah pada tahun 2003. Namun, hingga kini naskah itu teronggok menunggu kejelasan nasibnya.

Menurut Deputi II Bidang Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kewilayahan KLH, Gempur Adnan, pihaknya membutuhkan konsep dasar penanganan sampah itu untuk pengembangan lingkungan hidup di wilayah-wilayah Indonesia berkaitan dengan bencana yang terjadi sekitar lokasi TPA di wilayah Indonesia.

Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sony Keraf, pun menyatakan, peraturan yang menyeluruh tentang penanganan sampah sudah harus dibuat. Ia mengatakan jika memang pemerintah belum menyiapkan, pihaknya bisa menggunakan hak usulan dari DPR untuk membuat peraturan itu.

Dari naskah akademis yang dibuat tim dari KLH terlihat, penanganan sampah di Indonesia akan diatur dengan paradigma baru. Semua pihak bertanggung jawab terhadap sampah, baik masyarakat, pemerintah atau stakeholder (pemangku kepentingan) lain yang berkaitan dengan keberadaan sampah.

Setidaknya dalam peraturan tentang sampah itu disinggung tentang lima aspek; sistem hukum, kelembagaan, teknologi, pendanaan, dan peran serta masyarakat. Hal itu menjadi hal pokok dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Paradigma tentang sampah tidak hanya berlaku bagi pemerintah, yang dianggap bertanggung jawab atas manajemen sampah, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat dan institusi.

Sistem hukum yang menjadi payung dalam pengelolaan sampah harus bisa mengatur mekanisme pengelolaan sampah dari produksi barang yang menghasilkan sampah, masyarakat pengguna produk yang juga menghasilkan sampah, pemerintah sebagai regulator penegakan hukum, serta pihak swasta yang menjadi operator pengolahan sampah di lokasi pembuangan.

Perlu juga diatur tentang lembaga yang berwenang terhadap pengelolaan sampah, baik di pemerintah pusat hingga di lingkungan permukiman. "Di negara luar, penanganan sampah melibatkan 13 menteri. Mungkin di Indonesia perlu dibuat lembaga yang langsung di bawah presiden atau wakil presiden," ujar Slamet.

Kewenangan pemerintah dalam penanganan masalah sampah saat ini masih rancu. Pemerintah mengambil posisi regulator sekaligus operator sampah, padahal jika operator sampah melanggar dalam mengelolanya, harus ditegur sesuai dengan regulasinya.

Konsep itu tidak memungkinkan terjadi jika dua kewenangan itu berada pada tubuh yang sama. Hal itu terlihat pada kasus di Leuwigajah dan Bojong, hingga akhirnya menimbulkan permasalahan sosial.

Teknologi yang digunakan pun harus sesuai dengan kapasitas lingkungan dan daya beli masyarakat yang menyerahkan pengolahan sampah kepada pihak ketiga. Hal itu sangat berkaitan dengan pendanaan pengolahan sampah.

Pendanaan itu harus bersifat proporsional. Artinya, siapa yang membuang sampah lebih banyak, harus membayar lebih sebagai konsekuensi pengolahan sampah yang dibuangnya. Selain itu, menurut Slamet, pendanaan masalah sampah juga harus jelas, siapa yang harus bertanggung jawab, sebagai wujud tanggung jawab peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Kebutuhan perangkat peraturan pengelolaan sampah setingkat dengan undang-undang dianggap cukup beralasan, karena beberapa peraturan lainnya tidak ada yang secara tegas mengatur masalah sampah. Namun, ternyata nasib peraturan itu masih belum jelas ke mana arahnya. "Sejak dahulu pemerintah sudah diingatkan untuk segera membuat undang-undang tentang sampah hingga akhirnya dibuat kajian akademisnya. Tetapi, berganti pemerintahan ternyata berbeda pandangan lagi. Mereka menimbang kembali apakah penting membuat peraturan itu setingkat undang-undang. Ini namanya kemunduran. Kenapa harus berpikir penting tidak penting lagi? Faktanya sampah itu sudah menjadi masalah sosial," ujar Slamet.

KLH sendiri sepertinya masih menimbang apakah hasil kajian akademis itu diusulkan menjadi undang-undang atau hanya disisipkan di revisi UU No 23 Tahun 1997, yang mengatur tentang lingkungan hidup.*

Post Date : 13 April 2005