|
SETELAH harga kebutuhan pokok, termasuk sayur dan bumbu dapur, naik, kini warga harus menerima kenaikan tarif air bersih 8,14 persen dan akan terus naik setiap enam bulan hingga tahun 2007. Pedagang air keliling pun siap-siap ikut menaikkan harga. "Kalau sekarang ini per pikul (dua jeriken atau 40 liter) harganya Rp 1.000, mungkin nanti Rp 1.500 kali ya," kata Husin (40), pedagang air keliling warga Matraman, Jakarta Timur, Rabu (2/2). Husin biasa menjual air hingga ke Jalan Proklamasi dan Salemba Raya. Dampak kenaikan air bersih ternyata dirasakan pula oleh warga yang tidak berlangganan air ke TPJ atau Palyja. Bachtiar Nur, warga Jalan Peternakan RT 7 RW 2 Cengkareng, misalnya. Untuk kebutuhan masak dan minum keluarga, keluarga Bachtiar membeli air dorongan setiap hari. "Air sumur untuk mandi saja, takut airnya berpenyakit karena di dekat rumah ada tempat pemotongan babi," ujarnya menjelaskan. Ketua Masyarakat Air Minum Indonesia (MAMI) Poltak Situmorang mengatakan, kenaikan tarif air bersih justru merugikan rakyat kecil karena merekalah pelanggan terbanyak. "Bohong kalau subsidi silang itu, yang kaya membantu yang miskin. Yang benar, pemakai air yang lebih banyak yang menyubsidi pemakai yang sedikit," ujarnya. Berdasarkan data MAMI yang diperoleh dari PDAM, pemakai terbanyak justru dari kelompok IIIa atau rumah tangga (rumah susun) sederhana yang mencapai lebih dari 306.000 pelanggan (data tahun 2004) dari total 704.000 pelanggan. "Warga yang paling banyak menggunakan air PAM adalah mereka yang tinggal di Muara Karang, Tanjung Priok, dan daerah lain di Jakarta Utara yang air sumurnya tidak layak dikonsumsi. Pelanggan yang tinggal di Pondok Indah hanya memakai air PAM kalau listrik mati," papar Poltak. Dampak kenaikan air bersih saja bisa begitu meluas, apalagi ditambah dengan rencana kenaikan tarif beberapa jenis retribusi daerah, seperti tertulis dalam Rancangan Perda tentang Retribusi Daerah yang saat ini dibahas DPRD DKI Jakarta. Yang paling dirasakan warga adalah naiknya tarif berobat di rumah sakit dan puskesmas. Sri, pemilik warung di Jalan Otista, Jatinegara, memilih berobat dengan ramuan tradisional daripada pergi ke rumah sakit. Apalagi jika tarif pelayanan benar-benar akan dinaikkan. "Kalau enggak malu, saya rasanya pengin nangis sambil lari menghadapi susahnya hidup di Jakarta," katanya. Dalam rancangan perda disebutkan, tarif rawat jalan di RS pemerintah Rp. 2.000 (pagi) dan Rp 5.000 (sore). Untuk pelayanan UGD (puskesmas 24 jam), tarif mencapai Rp 10.000. Memang serba susah. Apa- apa mahal, tetapi penghasilan pancet (tetap). (IVV) Post Date : 03 Februari 2005 |