|
BANJIR telah melumpuhkan Jakarta dalam beberapa hari terakhir. Intensitas air hujan yang cukup tinggi mengawali tahun ini. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Stasiun Geofisika Kelas I Bandung, memprakirakan hujan deras akan terus dirasakan masyarakat hingga seminggu ke depan. Beruntung, warga Bandung selatan yang menjadi langganan banjir tak mengalami nasib serupa awal tahun ini. Penyodetan Sungai Citarum dalam dua tahun terakhir cukup efektif menghindarkan banjir ke permukiman warga. Ancaman banjir ternyata tak hanya dikhawatirkan warga Kec. Dayeuhkolot ataupun Kec. Baleendah di Bandung selatan, melainkan juga warga Kec. Banjaran. Sejak beberapa tahun terakhir, warga Banjaran selalu dikhawatirkan oleh datangnya banjir bandang akibat meluapnya Sungai Cisangkuy yang merupakan anak Sungai Citarum. Rupanya, banjir juga mengubah perilaku masyarakat di sana. Saking seringnya, banjir dan masyarakat di sana telah hidup "berdampingan". Banjir tak lagi menjadi pengganggu aktivitas warga, karena masyarakat lebih siap menghadapinya. Sejak lima tahun terakhir, masyarakat RT 2 RW 7 Kp./Desa Kamasan Kec. Banjaran melakukan bentuk upaya antisipasi banjir dengan meninggikan rumahnya masing-masing. Ketinggian rumah di sana mulai dari satu meter hingga dua meter. Bagian yang ditinggikan adalah fondasi (tatapakan), sementara itu rumah yang dibangun bersifat semipermanen hanya berlantaikan papan. "Hampir dua puluh rumah di sini sengaja ditinggikan untuk menghindari banjir. Kalau tidak begini, kami akan selalu tenggelam saat banjir bandang datang," kata Engkus Kusmana (42), Ketua RT 2 RW 7 Desa Kamasan, saat ditemui di kediamannya, Minggu (3/2). Rumah yang tak ditinggikan kebanyakan rumah kontrakan atau warga miskin yang tak mampu membangun rumahnya kembali. Menurut Engkus, tindakan antisipasi warga berkaca dari seringnya bencana banjir bandang yang terjadi hampir setiap tahun. Sepanjang tahun lalu, daerah itu tergenang tiga kali. Meluapnya Sungai Cisangkuy dan Cisela adalah penyebab utama banjir di daerah mereka. Sungai meluap karena badan sungai kian menyempit akibat pembangunan rumah warga yang semakin mendesak ke bantaran sungai. Ia mengatakan, warga sedikit tenang sejak rumahnya ditinggikan. "Minimal kami telah melakukan upaya antisipasi meski harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit," kata Engkus. Menurut dia, warga sadar bahwa tanah mereka memiliki nilai jual yang rendah saat ditawarkan kepada orang lain. "Daripada dijual murah, warga memilih tinggal dan menghadapi segala konsekuensinya. Memiliki rumah panggung yang sangat tinggi bukan berarti tak memiliki risiko. Sebagian warga tak memperbolehkan anak-anaknya bermain di teras rumah. Beberapa warga yang memiliki sepeda motor pun tak bisa leluasa menyimpan kendaraannya di dalam rumah karena harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk memasukkannya. "Ya, risiko punya rumah tinggi. Motor saya pun terpaksa disimpan di rumah mertua di RW tetangga. Selain capek keluar masuk rumah, repotnya kalau banjir datang motor tak bisa dikeluarkan karena rumah terkepung air," ucap Akir, warga lainnya. (Deni Yudiawan/"PR") Post Date : 04 Februari 2008 |