|
Banjarmasin, Kompas - Warga di berbagai daerah di Kalimantan Selatan, terutama yang tinggal dekat dengan aliran Sungai Barito, kini mulai menyiapkan tajau untuk tandon. Tandon air itu berfungsi di saat air mulai masin (asin) karena intrusi air laut ke sungai-sungai dan perkampungan. Warga mulai membeli tandon air dengan sistem "kredit" kepada pemodal dan akan dibayar dengan gabah pada waktu panen nanti. Pemantauan Kompas di pembuatan tajau di Kampung Kuin Utara, Banjarmasin, Selasa (17/5), warga mulai membuat tajau yang terbuat dari adonan pasir, semen, dan kapur. "Tajau buatan kami ini mengandung kapur sehingga bisa menyerap air masin. Kalau tajau yang terbuat dari plastik atau tanah liat malah tidak bisa menyerap air masin, bahkan tajau plastik membuat air bau," kata Aran, pembuat tajau. Bayar saat panen Hingga kini warga di tepian Sungai Barito yang tidak terjangkau air leding sehari-hari mengonsumsi air sungai. Hanya saja, menjelang kemarau air sungai dipastikan akan masin akibat intrusi air laut. "Yang ditandon nanti bukan air leding, melainkan air sungai yang warnanya kuning ini juga," kata Aran. Sebenarnya ada penjual air yang menawarkan air sungai tawar dengan harga murah, namun umumnya warga yang mayoritas masyarakat agraris tak mampu juga membelinya. "Jangankan membeli air tawar, untuk mendapatkan tajau ini saja mereka terpaksa kredit," kata Aran. Sistem kredit yang dimaksud adalah pembayaran tajau dengan menggunakan padi pada saat panen nanti. "Para petani kini usai tanam padi dan sekarang sedang menunggu panen. Mei ini mereka mulai membeli tajau kepada pedagang tajau dengan cara dibayar nanti saat panen," kata Yasin, pembuat tajau. Satu tajau yang harga jual di pembuatnya Rp 25.000, oleh pedagang dijual kepada petani dengan gabah senilai Rp 60.000. "Pembuatan tajau ini juga mengikuti musim menunggu panen yang berkisar antara bulan Mei sampai September. Di luar bulan itu kami tidak membuat tajau karena tidak ada pasarannya. Para petani usai panen biasanya tidak punya uang," kata Yasin. Aran menambahkan, bulan-bulan antara Mei hingga September dalam satu hari bisa terjual hingga 30 tajau. Tajau itu dibawa menggunakan perahu kelotok (perahu bermesin khas Kalsel) untuk dipasarkan ke berbagai perkampungan di tepi sungai. "Orang kota tidak membutuhkan tajau karena mereka sudah bisa menikmati air leding. Orang kampung mana ada air leding, kami hanya mampu menampung air sungai saja," kata seorang warga. (AMR) Post Date : 18 Mei 2005 |