|
Jika dibandingkan, pengelolaan air minum di Kota Casablanca, Maroko, dengan Jakarta bisa mirip atau berbeda. Dikatakan mirip karena pemerintah kedua kota sama-sama telah menggandeng pihak swasta asing. Perbedaannya terletak pada hasil kerja sama itu. Pada tahun 1997, Pemerintah Kota Casablanca mulai menggandeng pihak swasta, yaitu Lydec, untuk mengelola air minum. Dalam kerja sama ini, Lydec bertugas mendistribusikan air minum hingga rumah-rumah penduduk, sementara tugas utama pemerintah adalah menyediakan air minum yang didistribusikan Lydec. Setahun kemudian, yaitu tahun 1998, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menggandeng dua perusahaan asing untuk bekerja sama mengelola air di Jakarta selama 25 tahun. Mereka adalah PT Thames PAM Jaya (TPJ) dan PT PAM Lyonaisse Jaya (Palyja). Jika TPJ bertugas mengelola air minum di sisi timur Sungai Ciliwung, Palyja beroperasi di sisi barat Sungai Ciliwung. Jika dicermati, bentuk dan pelaku kerja sama pengelolaan air di Casablanca dan Jakarta, khususnya yang dilakukan dengan Palyja, ternyata hampir sama. Palyja dan Lydec, sama-sama bagian dari Grup Suez, Perancis. Poin dalam kerja sama juga hampir sama sama. Antara lain mencakup tata cara penentuan tarif, target pendistribusian, hingga kualitas air yang diterima masyarakat. Sejumlah politisi dan tokoh masyarakat Casablanca juga menginginkan kerja sama diakhiri karena dianggap tidak menguntungkan. Masalah ini sering dijadikan komoditas politik, kata Direktur Lydec Rui Sobral saat ditanya masalah yang sering mereka hadapi dalam kerja sama itu. Masalah serupa juga terjadi di Jakarta. Bedanya, di Jakarta kerja sama ini sering dipersoalkan karena sebagian warga merasa belum melihat dampak positifnya. Hingga sekarang, air yang diterima warga dari Palyja atau TPJ baru berupa air bersih dan belum bertaraf air minum. Ironisnya, meski hanya bertaraf air bersih, air itu kadang juga tidak bersih. Jangkauan pendistribusian air oleh kedua perusahaan itu juga masih terbatas. Akibatnya, pelanggan air minum di Jakarta baru sekitar 700.000. Dari pelanggan sejumlah itu, belum semuanya dapat menerima kiriman air setiap waktu. Lebih ironis lagi, meski pelayanannya masih dikeluhkan, tarif air bersih di Jakarta terus saja naik. Bahkan, seperti halnya di Casablanca, rencananya kenaikan tarif akan terjadi setiap enam bulan. Untuk semester II tahun ini, usulan kenaikan tarif itu tidak dikabulkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pasalnya, TPJ dan Palyja dinilai belum dapat memenuhi sejumlah standar pelayanan seperti yang tertuang dalam kontrak, misalnya tentang jumlah pelanggan dan angka kebocoran air. Namun, bagaimana untuk rencana kenaikan tarif di masa-masa mendatang? Benang kusut Komisaris Palyja Bernard Lafrogne menuturkan, kenaikan tarif itu diperlukan untuk menutup defisit yang sekarang besarnya Rp 230 miliar. Defisit ini terjadi karena selama tahun 1998-2002, praktis tidak ada kenaikan tarif. Sebagian besar dari komponen tarif selama ini memang dipakai untuk membayar imbalan air kepada Palyja dan TPJ. Sisanya untuk menggaji anggota Badan Regulator dan Pam Jaya, membayar utang Pam Jaya ke Bank Dunia sekitar Rp 1,7 triliun, dan untuk pendapatan asli daerah DKI Jakarta. Dalam perjanjian kerja sama telah disebutkan sejumlah faktor yang menentukan besar imbalan air. Faktor itu antara lain tarif listrik, inflasi, dan standar gaji karyawan, kata Lafrogne. Namun, dia menolak menjelaskan cara penghitungan faktor-faktor itu dalam penentuan besar imbalan. Defisit ini, lanjut Lafrogne, salah satunya telah mengurangi kemampuan investasi Palyja dalam membuat atau memperbaiki jaringan yang rusak. Akibatnya, selain pelanggan baru tidak dapat ditambah secara maksimal, angka kebocoran air juga tetap tinggi, yaitu hampir 50 persen karena kondisi jaringan pada umumnya memprihatinkan. Ironisnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tidak dapat serta merta lari dari persoalan pelik itu, misalnya dengan cara menghentikan kerja sama. Pasalnya, siapa yang untuk sementara waktu harus melayani kebutuhan air masyarakat saat mitra swasta asing pergi? Penghentian kerja sama juga membuat pemerintah harus membayar sejumlah kompensasi kepada TPJ dan Palyja. Dalam perjanjian kerja sama, menurut Lafrogne, kompensasi yang harus dibayar pemerintah jika kerja sama dihentikan di tengah jalan antara lain defisit yang besarnya sekitar Rp 230 miliar dan semua investasi yang telah dikeluarkan Palyja yang besarnya sekitar Rp 1 triliun. Pemerintah juga harus membayar proyeksi keuntungan yang akan diraih Palyja dalam 25 tahun operasi mereka di Indonesia. Dalam kondisi sekarang, siapa yang dapat membayar kompensasi sebesar itu? Jika pemerintah nekat tidak membayar berbagai kompensasi itu saat penghentian kerja sama, besar kemungkinan masalah ini akan dibawa ke Lembaga Arbitrase Internasional. Jika itu terjadi, selain besar kemungkinan pemerintah akan kalah, juga akan memperburuk citra investasi di Indonesia. Melihat gambaran di atas, benang kusut pengelolaan air di Jakarta mungkin hanya dapat mulai diurai jika masing-masing pihak yang terlibat bersedia duduk bersama dengan bekal tidak hanya mementingkan diri sendiri. Di satu sisi, memang tidak etis mengingkari isi kesepakatan kerja sama yang telah dibuat. Namun, di sisi lain, rasanya juga kurang bermoral mengeruk keuntungan dari negara yang sebagian besar rakyatnya masih miskin.M Hernowo Post Date : 19 Juli 2006 |