|
Jakarta, kompas - Seluruh 25,02 hektar kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke, satu-satunya kawasan mangrove yang tersisa dan merupakan habitat utama satwa liar di Jakarta, saat ini semakin parah dicemari limbah dan sampah. Reklamasi pantai pun telah mengubah total ekosistem kawasan itu. Demikian diungkapkan Koordinator Staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jakarta Utara Arif Widarto, dua Staf Ahli Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPPM) Prof Dr Sukristijono Sukardjo dan Ria Puryanti, serta Head of Corporate Affairs Standard Chartered Bank (SCB) Indonesia Sinta Sirait, Selasa (2/8). SCB Indonesia bekerja sama dengan KSDA dan LPPM telah menanam 10.000 anakan mangrove di Suaka Margasatwa (SM) Muara Angke empat tahun lalu. Senin lalu puluhan karyawannya mengunjungi kawasan itu untuk membersihkan sampah. Sinta mengatakan, SCB peduli terhadap SM Muara Angke karena kawasan itu satu-satunya yang dimiliki Jakarta. Meski demikian, ternyata hanya sedikit kalangan peduli terhadap kondisi ekologisnya yang kian parah tertekan oleh sampah dan limbah. Arif menambahkan, seluruh 25,02 hektar luas kawasan SM Muara Angka kini telah tercemari limbah dan sampah. Sampah dan limbah mengalir tidak hanya melalui sungai, tetapi juga berasal dari air laut saat pasang. Ketika surut, sampahnya tidak kembali ke laut, tetapi tersangkut pada rumput dan semak di kawasan. "Seluruh kawasan dipenuhi sampah," katanya. Limbah dan sampah yang tertinggal kemudian membusuk dan menebarkan bau tidak sedap. Setiap kali pengunjung datang ke sudut mana pun di kawasan pasti mencium aroma tidak sedap itu. Padahal, kata Arif, SM Muara Angke merupakan satu-satunya kawasan mangrove yang tersisa di pantai utara Jakarta. Kawasan itu juga merupakan habitat satwa liar yang penting di DKI Jakarta karena di sini ditemukan sedikitnya 76 jenis burung (17 jenis di antaranya masuk satwa yang dilindungi). Di sini juga hidup sekitar 60 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), puluhan biawak (Varanus salvator), dan berbagai jenis ular. Sukristijono mengatakan, SM Muara Angke ada di depan hidung warga Jakarta, tidak jauh dari Kantor Departemen Kehutanan dan Kantor Gubernur DKI Jakarta. Namun anehnya, kawasan ini tak terurus baik. "Seharusnya SM Muara Angke dijadikan sitting room Jakarta," katanya. SM Muara Angke, kata dia, memiliki posisi strategis, baik dari perspektif nasional, internasional, maupun regional. Dunia internasional, misalnya, dapat menilai sejauh mana komitmen Indonesia melestarikan keanekaragaman hayatinya dan menjaga lahan basahnya hanya dengan melihat SM Muara Angke. Ria menambahkan, dari hasil pengamatannya, SM Muara Angke kian tertekan tidak saja oleh limbah dan sampah. Kini kegiatan reklamasi pantai dan kawasan di sekitarnya telah mengubah total ekosistem kawasan. Kegiatan reklamasi telah menyebabkan daratan bertambah. Material tanah yang terbawa gelombang pasang membentuk gundukan baru (sedimentasi). Kadar salinitas berubah sehingga mengubah pula ekosistemnya. Misalnya, api-api yang biasanya ditemukan di bibir pantai kini malah ada di tengah kawasan. (CAL) Post Date : 03 Agustus 2006 |