|
Seminar menghadirkan Ketua Komisi V DPR-RI Ahmad Muqowam, Dirjen Bina Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Ir. Agoes Wdjanarko dan peneliti LP3ES, Kuswanto, SA, hadir dalam kegiatan yang dipandu oleh moderator Erfan Maryono. Suara Publik memuat tulisan Ketua Komisi V DPR-RI H Ahmad Moqowam untuk memperkaya perspektif kita tentang politik anggaran air setelah melewati proses editing dan penyesuaian tema "Peluang dan Kendala Dalam Peningkatan Anggaran Publik Untuk Pembangunan Prasarana Air Bersih". Indonesia, terkait dengan akses terhadap air minum, sebagaimana diungkap oleh Suyono Dikun (Bappenas), menampilkan fakta ; kapasitas terpasang tahun 2000 mencapai 95.078 liter/detik, dengan kapasitas operasi hanya 72.303 liter/detik. Dengan asumsi hingga 2015 tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan di bidang air minum, pada tahun 2015 kapasitas terpasang hanya mencapai 215.000 liter/detik. Sedangkan kebutuhan pada 2015 minimum sebesar 377.372 liter atau 11,9 miliar meter kubik per tahun. Bila dilihat perkembangannya, pada 1969 kapasitas terpasang mencapai 9 ribu liter sehingga untuk mencapai target MDGs 2002 harus ada penambahan minimal 110 ribu liter/detik setiap tahunnya. Dengan menggunakan standar kebutuhan dana yang diperlukan untuk membangun prasarana dan sarana air minum (safe drinking water) maka untuk mencapai sasaran tersebut dibutuhkan dana sebesar 56,42 triliun rupiah, atau setiap tahunnya (sejak 2003) harus disediakan dana minimal 471 triliun rupiah. Dana tersebut akan digunakan untuk memperbaiki, merevitalisasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan teknis yang ada, serta pembangunan baru prasarana dan sarana air minum yang dimulai sejak pengadaan air baku, membangun bangunan sadap air baku, transmisi, instalasi pengolahan air, bak penampung, jaringan distribusi, dan sambungan rumah. Pertanyaannya, apakah Indonesia mampu menyediakan dana sebesar itu hanya untuk satu bidang saja, mengingat hingga sekarang sektor perumahan dan permukiman sebagai induk bidang air minum belum menjadi prioritas pembangunan. Dasar program penyediaan air minum pada era pemerintahan lalu ditetapkan mengikuti target pencapaian sasaran, sesuai pentahapan dalam GBHN dan pemerintah berkewajiban mendistribusikan hasil pembangunan ke seluruh daerah, termasuk air minum. Sejak 1980-an pembangunan fasilitas penyediaan air bersih dilaksanakan dari skala metropolitan sampai ke desa-desa. Perubahan peran pemerintah dan provider menjadi enabler sebagai pemicu bergeraknya pembangunan di daerah sesuai UU Otonomi Daerah, bidang ke-ciptakarya-an telah merealisasikan sejak pertengahan 90-an. Daerah diberikan peran lebih untuk mengatur daerahnya sendiri, dan bertanggung jawab atas sebagian pembiayaan pembangunan. Dari 296 PDAM di seluruh Indonesia, baru 20%-30% penduduk kota yang terlayani atau sekitar 70 juta jiwa. Dengan kapasitas produksi nasional air PDAM yang 72.000 liter/detik, sebagian besar PDAM masih menghadapi masalah kebocoran air (40% 50%). Dana pemerintah pusat yang macet mencapal Rp. 4,6 triliun pinjaman dari SLA (Sub Loan Agreement) dan RDA (Regional Development Account). Masalah utama yang menonjol pada pengelolan air minum saat ini adalah masalah keuangan yakni utang terhadap SLA dan RDA yang besar dan tidak mampu dicicil, biaya bahan baku makin mahal dan tarif air minum yang relatif masih rendah. Masalah lain yang cukup dominan ialah pelayanan dan kinerja PDAM. Masih banyak idle capacity, kebocoran, kapasitas, kualitas, kontinuitas pelayanan dan otorisasi pengelolaan yang belum diserahkan sepenuhnya. Selain itu, masalah kebijakan nasional yang masih mengijinkan subsidi bagi PDAM, diskriminasi bunga pinjaman dan tiadanya sanksi bagi PDAM yang gagal menjalankan fungsinya dengan baik. Sedangkan secara umum persoalan besar dalam pengelolaan air di Indonesia, diantaranya : a. Distribusi pelayanan air tidak merata. Distribusi lebih banyak difokuskan untuk melayani kegiatan kornersial yang mendukung pembangunan ekonomi. Hanya konsumen yang mampu membayar yang dapat memiliki akses terhadap air bersih. b. Polusi air. Menteni Kesehatan mengatakan bahwa kualitas air di Jakarta dan kota besar lainnya tidak layak dijadikan sebagai air minum kanena sumber airnya sudah tercemar. c. Ketidakmarnpuan Pemerintah Indonesia untuk memperluas jaringan irigasi bagi keperluan pertanian, sehingga salah satunya terjadi penurunan produksi padi. d. Berkurangnya sediaan (supply) air bersih maupun air minum yang disebabkan berkurangnya daerah tangkapan air akibat alih fungsi lahan. Anggaran dan Kualitas Pelayanan Publik Anggaran publik atau anggaran pemerintah memainkan sederet peranan dalam pembangunan suatu negara. Secara teoritis anggaran pemerintah memainkan 3 fungsi utama, yaitu : fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi, anggaran pemerintah memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya juga dalam rangka pelayanan publik. Dalam fungsi yang lain termasuk pula pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (fungsi distribusi) serta penciptaan lingkungan makro ekonomi yang kondusif (fungsi stabilisasi). Fungsi-fungsi dasar tersebut kemudian melandasi perumusan kebijakan fiskal baik dari sisi pendapatan, pembiayaan, maupun belanja negara. Di sisi yang lain, pemerintah mengarahkan pembangunan nasional untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, tujuan-tujuan pembangunan nasional ini dijabarkan dalam agenda pembangunan nasional yang meliputi; (1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai; (2) mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam rangka mengoptimalkan pencapaian agenda-agenda ini, diperlukan prioritas pembangunan sesuai ketersediaan pendanaan dan kebutuhan pembangunan. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa alokasi anggaran pemerintah seyogyanya berorientasi pada urutan prioritas pembangunan nasional dimaksud. Sebagai gambaran tahun 2006 sebagaimana dikemukakan Deni Adi Purwanto, peneliti INDEF bahwa alokasi anggaran terbesar oleh pemerintah adalah pada fungsi pelayanan umum, secara relatif jauh lebih besar dibandingkan pos-pos fungsi lain dengan porsi sebesar 61,60%, dan pendidikan sebesar 10,12%. Sementara sisanya rnemperoleh porsi rata-rata 3,14%. Tak salah kemudian jika dikatakan bahwa alokasi anggaran untuk fungsi-fungsi yang krusial bagi publik maupun pembangunan nasional adalah anggaran sisa. Fungsi pelayanan umum secara normatif menjadi tanggung jawab pernerintah seperti administrasi pelayanan publik, belanja pegawai pemerintah dan sebagainya. Namun perkembangan alokasi anggaran pada fungsi pada 2005, sebesar 22,05% dialokasikan untuk pinjaman pemerintah. Disorientasi anggaran pemerintah terjadi karena beberapa hal. Pertama, kurang jelasnya prioritas di dalam RPJMN dan RKP. Di dalam RPJMN 2005-2009 disebutkan 33 prioritas pembangunan nasional mulai dan peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antar kelompok masyarakat hingga rencana rehabilitasi NAD dan Sumut. Namun terkait alokasi anggaran dan mobilisasi sumber daya pembangunan nasional, RPJMN 2005-2009 tidak menunjukkan prioritas masing-masing poin. Dengan kata lain, ke-33 prioritas yang ada tidak terurut sebagaimana layaknya prioritas. Kedua, pengajuan proyek kepada pemerintah seringkali belum sesuai dengan prioritas pembangunan nasional. Dalam RKP 2006 disebutkan bahwa prioritas pembangunan pada tahuri 2006 adalah prioritas yang terfokus pada upaya penyelesaian masalah mendesak dan berdampak luas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat serta didukung oleh upaya-upaya untuk menciptakan keadaan Indonesia yang lebih aman, adil dan dernokratis. Namun demikian anggaran yang diusulkan oleh departemen-departemen dan disetujui DPR belum sepenuhnya sesuai pada fokus sebagaimana disebutkan dalam RKP 2006. Ketiga, anggaran berdasarkan negoisasi dan kepentingan. Kemungkinan disorientasi anggaran disebabkan oleh pengajuan dan persetujuan yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan sejumlah pihak dari pada kepentingan publik. Proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah belum semuanya digunakan untuk membiayai pembangunan dan masih terasakan kebocoran dalam proses pencairan anggaran dan ke daerah dan pusat kepada departemen-departemen; legitimasi urgensi atau kepentingan satu proyek. Adalah fakta bahwa kondisi keuangan negara yang terhatas, dalam arti terlalu besar kebutuhan namun belum optimalnya penerimaan negara. Ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pertama, meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, surplus BUMN, dan keringanan pembayaran utang. Kedua, mengusahakan berbagai program dan proyek yang dilaksanakan oleh semua instansi pemerintah dapat memasukkan program penanggulangan kemiskinan sebagai bagian penting dan sasarannya. Dan ketiga, mengembangkan pola kemitraan antara pemerintah dengan anggota masyarakat untuk bersama-sama memecahkan masalah kekurangan air dan kemiskinan. Pendekatan penganggaran pembangunan prasarana air minum yang berbasis proyek dan negosiasi sudah waktunya diubah menjadi penganggaran prioritas yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat (*) Post Date : 25 April 2007 |