|
Surabaya, Kompas - Kendati upaya konservasi di sekitar daerah aliran Sungai Bengawan Solo sudah dimulai, risiko berulangnya banjir dan longsor masih besar. Sebab, umumnya pohon yang ditanam tahun 2008 ini belum memiliki akar yang kuat untuk menahan laju air. Direktur Pengelolaan Perum Jasa Tirta I Edhie Subagio, Rabu (26/11) di Surabaya mengatakan, upaya konservasi di sekitar DAS Bengawas Solo sudah dimulai setelah banjir besar akhir 2007. Selain penanaman pohon, dibuat terasering di tebing yang curam dan alur penghambat aliran air (gully plug). Namun, pepohonan yang ditanam itu memerlukan lima sampai sepuluh tahun untuk berfungsi efektif menahan laju aliran air. "Kami berusaha mempersiapkan diri sebisanya, tetapi perlu dibarengi usaha dari pemerintah pusat. Kerusakan lingkungan memang sudah kita rasakan, karenanya menanam pohon harus diwajibkan dengan berbagai cara," tutur Penjabat Gubernur Jawa Timur Setia Purwaka. Mengenai risiko longsor yang biasanya menyertai setelah hujan lebat, pakar dari Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Amien Widodo, menyarankan agar pemerintah dan masyarakat yang bermukim di sekitar pegunungan atau perbukitan untuk waspada dan mengamati kondisi tanah di sekelilingnya. Bila ada tanda-tanda longsor seperti retakan memanjang di tanah, lantai rumah, pagar, atau tembok, warga perlu segera mengukur setiap hari. Bila retakan melebar, warga dapat menutupnya dengan bahan kedap air supaya aliran air permukaan tidak masuk ke retakan. Satu cara tambahan adalah dengan memasukkan batang pohon yang bisa distek dengan harapan tumbuh akar yang mengikat tanah. Mengenai pelatihan atau simulasi persiapan kemungkinan terjadi bencana yang semestinya diperoleh masyarakat yang bermukim di kawasan rawan, Setia Purwaka mengatakan hal itu ditangani pemerintah kabupaten/kota. Pembangunan waduk Selain itu, pembuatan waduk juga merupakan jalan keluar menangani banjir. Rencana pembangunan Waduk Kresek di Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, diharapkan bisa mencegah banjir akibat luapan Sungai Bengawan Madiun dan sejumlah anak sungainya. Akan tetapi, pembangunan waduk itu baru bisa dilakukan tahun 2010. Kepala Subdinas Pengembangan dan Rehabilitasi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Madiun Prayitno, Rabu (26/11), mengatakan, saat ini pihaknya baru melakukan studi awal rencana pembangunan Waduk Kresek. Setelah studi awal selesai, masih ada studi-studi lain yang harus dilakukan untuk melihat kalau pembangunan waduk di Wungu memang tepat dan tidak akan menimbulkan masalah, seperti studi kelayakan dan analisa mengenai dampak lingkungan. Setelah seluruh pengujian itu selesai, masih ada tahap pembuatan detail design dan studi uji bendungan. "Setelah itu, tahap pembebasan lahan dilakukan, dan dilanjutkan pembangunan fisik waduk," kata Prayitno. Pembebasan lahan ini termasuk di antaranya merelokasi sekitar 35 rumah di lokasi waduk dan memberikan ganti rugi ke pemiliknya. Waduk yang dirancang selesai tahun 2012 ini berada di lahan seluas 60 hektar dan dapat menampung sedikitnya 12 juta meter kubik air dari lereng Gunung Wilis. Waduk itu nantinya dapat mengairi 7.763 hektar lahan sawah, tiga pabrik gula di Madiun (Rejoagung, Kanigoro, dan Pagotan), meningkatkan debit air perusahaan daerah air minum, dan berfungsi sebagai pengendali banjir. (APA/INA) Post Date : 27 November 2008 |