|
Mobil tangki air yang kami tumpangi bergoncang hebat begitu memasuki jalanan di Desa Cimrutu, Kecamatan Patimuhan, Kabupaten Cilacap, Rabu (28/6). Debu langsung beterbangan di belakang mobil biru-putih yang dikemudikan staf Hubungan Antarlembaga Badan Koordinasi Pembangunan Lintas Wilayah (Bakorlin) III Jawa Tengah, Lien Juharli (32). Musim kemarau memang baru berlangsung sekitar satu bulan. Rerumputan juga masih hijau, tetapi suasana kering dan debu yang berhamburan terasa begitu memasuki Patimuhan. Apalagi, jalan Desa Cimrutu yang kami masuki rusak berat. Debu langsung membuat tenggorokan serak pula. Mobil bak terbuka penuh dengan sejumlah pria menduduki tong air berada di hadapan kami. Rombongan itu baru mengambil air dari tier, sebutan penduduk untuk menamai saluran irigasi tersier di kawasan itu. "Ini baru awal kemarau, banyak warga yang belum tahu ada bantuan air. Jika sudah sangat kering, sebulan lagi akan terlihat warga berjejeran membawa ember menyambut mobil tangki," tutur Lien. Baru selesai bicara, seorang ibu membawa ember berteriak-teriak hendak mencegat kami. "Minta airnya sedikit saja," teriaknya dalam logat Sunda. "Nanti Bu, RT yang lain dulu, ya. Tunggu giliran," sahut Lien. Tong air besar berwarna hitam terbuat dari fiber banyak yang sudah berada di depan rumah. Keluarnya tong yang disebut jemblung itu berarti warga rumah itu membutuhkan air. Penghuni rumah berharap mobil tangki air akan berhenti di rumahnya dan mengisi tong berkapasitas 2.500 liter itu. Di jalan, kami bertemu Sekretaris Desa Cemrutu, Sano. Bersepeda motor baru, perangkat desa setengah baya itu dengan tekun menunjukkan daerah mana yang harus diberi air terlebih dahulu. Kami menuju Dusun Kalenwedi, tepatnya di RT 01 RW 02. Di sana sebuah jemblung besar, tong kecil, ember, dan jeriken, berikut puluhan warga sudah menunggu. Setelah pompa dihidupkan, mengalirlah air ke dalam jemblung dan tong besar dari mobil tangki. Dengan wajah sumringah, ibu-ibu itu kemudian mengisi jeriken air menggunakan gayung dan corong. Selepas dari RT 01, kami menuju RT 02. Di tengah jalan mobil berhenti mengisi tong air milik keluarga Darsono. Di RT 02, situasinya pun sama. Puluhan warga menunggu. Jemblung besar diisi, kemudian dibagi-bagi dalam tong dan jeriken yang lebih kecil. Dalam pengawasan ketua RW Eros Rosadi dan Sano, semua berjalan tertib. Tangki berisi 5.000 liter air itu pun tandas dalam hitungan menit. Menurut Eros, air itu hanya digunakan untuk minum dan memasak. Untuk mandi mereka tetap menggunakan air payau. "Anak-anak terbiasa mandi bersama bebek di sungai asin," katanya. Semua terlihat lancar. Namun, Lien dan Abidin (30), kernet mobil tangki itu, yang sudah lima tahun bekerja sebagai petugas droping air bersih di kawasan itu, bertutur, kekeringan ini masih dalam taraf awal. Jika parah, perebutan air dan perilaku aneh warga bisa terjadi. Seorang bapak bisa nekat mengencingi seluruh air yang ada. Ada pula bapak yang baru pulang dari sawah dengan badan penuh lumpur langsung terjun dalam jemblung. Keributan pun akan terjadi. "Mereka berpikir lebih baik semua tak kebagian air daripada dirinya gak dapat," terang Lien. Saat kami pulang, beberapa keluarga mencegat kami. Lien mengatakan air sudah habis, tunggu giliran berikutnya. Oleh Aufrida Wismi W Post Date : 30 Juni 2006 |