|
Banjir tidak selalu melahirkan kepedihan. Banjir juga mampu menggugah lahirnya kerja sama, kekompakan, dan solidaritas di antara warga. Lihatlah Jepri (12), penduduk Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, yang memutuskan tak hanya menonton banjir, seperti anak-anak lain. Ia justru sibuk mengikat kantong plastik berisi air minum untuk diberikan kepada korban banjir. Beberapa kali ia meniup tangannya yang kepanasan, terkena air minum yang baru mendidih itu. "Panas banget. Tetapi harus buru-buru dikantongin karena mau dibawa ke Penas," katanya. Jepri tidak sendirian. Mamay (12) juga sibuk mengupas kentang yang akan dimasak. Jepri dan Mamay adalah dua dari belasan anak jalanan yang dengan senang hati membantu di dapur umur di Sanggar Anak Akar (SAA), Cipinang Melayu, Makasar, Jaktim. Sehari-hari mereka adalah anak jalanan yang harus menanggung sendiri hidupnya dengan bekerja sebagai pengamen, pengasong, pemulung, kuli, buruh, pembantu rumah tangga, atau lainnya. Sebagian besar dari mereka bahkan harus menjadi pilar ekonomi keluarga. Sejak banjir hari pertama, Jumat (2/2), mereka langsung pergi ke SAA karena tahu bakal banyak yang mereka bisa lakukan. "Tugas saya ganti-ganti setiap hari. Pokoknya banyak, deh. Kalau enggak kebagian nyiapin makanan, ya saya cuci piring," kata Jepri. SAA memang rumah singgah yang dibuat bagi anak jalanan. Saat didirikan tahun 1994, rumah singgah ini dimotori Romo Sandyawan Sumardi SJ. Tetapi, sudah beberapa tahun terakhir, rumah singgah ini berjalan dan dikelola pekerja sosial dan anak jalanan sendiri. Pada saat banjir ini SAA juga menjadi tempat tujuan bagi warga Cipinang Melayu, Penas, dan sekitarnya untuk mengungsi. Rumah SAA yang mempunyai aula luas menjadi tempat penampungan bagi 500 pengungsi. "Sekarang memang hanya tinggal beberapa orang karena sudah banyak yang kembali ke rumahnya. Tetapi, anak-anak banyak yang masih tinggal di sini untuk membantu di dapur umum," kata Susilo, Koordinator SAA, Selasa (6/2). Anak-anak jalanan itu berusia 10 sampai 25 tahun. Mereka bekerja dari pukul 05.00 hingga 20.00. Ada yang kebagian berbelanja, ada yang mengupas, ada yang memasak nasi, sayuran, membungkus nasi, dan ada juga yang bertugas membagikan nasi kepada pengungsi. "Kalau bukan kami, siapa yang bisa membantu di sini. Emak kan sibuk jaga adik dan jaga barang," kata Jepri. Pada hari pertama mereka memasak untuk 700 pengungsi. Tiga kali makan setiap harinya. "Sekarang rata-rata kami membuat 2.790 bungkus nasi untuk dibagikan ke 520 warga," kata Susilo lagi. Sumbangan teman Dana untuk membuat nasi bungkus sebanyak itu datang dari donatur, yang sebagian besar adalah teman-teman dari pengurus atau anak-anak jalanan. "Uangnya memang tidak banyak. Tetapi setiap hari ada saja yang menyumbang, baik uang atau bahan mentah untuk dimasak. Jadi, kami masih terus bisa memasak," ungkap Susilo. Di sebuah dinding dekat tempat anak-anak itu memasak ada kertas laporan yang diperbarui setiap hari. Laporan itu berisi laporan kegiatan, laporan keuangan, dan juga evaluasi dari apa yang mereka lakukan maupun apa yang harus mereka lakukan keesokan harinya. Pada Selasa tertulis uang yang tersisa hari Senin sebanyak Rp 850.000, setelah dipakai belanja sebesar Rp 1.049.000. Tetapi, ada sumbangan dari seorang donatur sebanyak Rp 5 juta sehingga saldo sementara Rp 5.850.000. "Laporan ini sangat penting untuk membiasakan anak-anak bertanggung jawab dan transparan atas apa yang mereka lakukan," kata Susilo. Bagi anak-anak jalanan, SAA bukanlah tempat asing. Hampir setiap hari mereka mampir ke sana. Di rumah itu mereka boleh melakukan apa saja, dari belajar membaca hingga berkreasi seni. Di rumah itu mereka juga belajar tentang hidup. Hanya dengan kerja sama dan gotong royong kepedihan bisa dikurangi. Kesetiakawanan memang bukan monopoli orang yang berpendidikan tinggi. Anak-anak jalanan, yang setiap hari harus berhadapan dengan sikap sinis, pandangan negatif masyarakat, dan perlakuan kasar serta kekerasan tindakan aparat, pun memiliki kesetiakawanan itu. M CLARA WRESTI Post Date : 07 Februari 2007 |