|
Udeng (70), warga Desa Setu, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, merasakan betapa musim kemarau saat ini membuat warga desa betul-betul menderita. Pasokan air bersih dari perusahaan air minum tidak masuk ke Jasinga, sementara banyak sumur kering. Kalaupun ada, airnya tak layak minum lagi. Setiap malam, kakek itu berjalan kaki sepanjang satu kilometer, begadang antara pukul 00.00 dan 02.00, hanya untuk antre mendapatkan air dari sumur warga yang masih memiliki sisa air di Kampung Penggilingan. Namun, sering kali dia hanya mendapatkan seember air, bahkan beberapa kali hanya setengah ember. Itu pun airnya keruh. "Saya terpaksa mengendapkan dulu air keruh itu di ember. Sungguh sulit mendapatkan air di sini," keluh Udeng, Jumat (5/10) siang. "Musim kemarau tahun ini boleh dikatakan parah. Sejak Juli sampai Oktober ini warga Jasinga kesulitan air bersih. Tidak ada jaringan PAM, sumur kering semua. Kedalaman sumur 15-20 meter pun kering," kata staf Kecamatan Jasinga, Isra Purnama, di kantornya, Jumat pagi. Kecamatan Jasinga, wilayah paling barat di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang berbatasan dengan Provinsi Banten, merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 150-250 meter di atas permukaan laut. Ny Lia (32), warga Desa Pamegarsari, Jasinga, mengungkapkan, krisis air bersih di wilayah itu membuat rakyat menderita, terutama mereka yang memiliki anak balita seperti dirinya. "Untuk kebutuhan balita, mulai untuk air minum, cuci botol susu, sampai untuk mandi, saya harus beli air isi ulang Rp 2.500 per galon," kata Lia, istri dokter Puskesmas Jasinga itu. Lia yang berasal dari Jakarta dan pernah bekerja di perusahaan production house itu mengaku hanya mandi sekali dalam sehari. Dia lebih mementingkan bayinya yang berusia dua bulan. "Malah kadang-kadang saya tidak mandi," kata Lia yang satu tahun terakhir ini berada di Jasinga, ikut suaminya dinas di Jasinga. Lia masih beruntung karena suaminya dokter puskesmas. Tapi banyak warga Jasinga yang tak mampu membeli air bersih di galon ataupun jeriken. Ny Enjun, misalnya. Warga Desa Setu ini tak punya sumur dan tak punya cukup uang untuk membeli air di galon sekalipun. Ibu empat anak ini menyatakan musim kemarau tahun ini benar-benar parah. Sehabis makan sahur, dia langsung mencari air di sumur-sumur warga yang airnya masih tersisa. Dia harus berjalan kaki ratusan meter melintasi kebun hanya untuk mendapatkan satu jeriken air sumur. Ny Enjun mengaku setiap hari hanya membasahkan badannya menggunakan setengah ember air. "Pokoknya, asal badan basah saja dan asal bisa untuk wudu," katanya. Untuk mandi dan mencuci, ratusan warga desa di Kecamatan Jasinga memenuhi Kali Cidurian yang melintasi wilayah tersebut. Sejak pukul 15.30 hingga menjelang maghrib, warga berbondong-bondong turun ke sungai untuk mengambil air. Meskipun warnanya keruh, warga tak punya pilihan lain. Beberapa kali warga berharap hujan segera turun jika terdengar suara gelegar halilintar. Tapi hujan masih enggan menyiram Jasinga.(PASCAL SB SAJU/ R ADHI KUSUMAPUTRA) Post Date : 06 Oktober 2007 |