Amuk Sang Bengawan

Sumber:Koran Tempo - 22 Maret 2008
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Amukan sungai terpanjang di Pulau Jawa, Bengawan Solo, belum juga reda. Sejak mengamuk di akhir 2007 hingga tahun ini, terjangan air bah sang Bengawan telah menimbulkan dampak yang sangat besar dan merugikan. Amukan sungai sepanjang 548,53 kilometer ini telah mengakibatkan korban yang sangat besar dan merusak hasil-hasil pembangunan yang telah dengan susah payah dicapai selama beberapa puluh tahun, baik pembangunan fasilitas umum milik negara maupun pembangunan hasil swadaya masyarakat.

Banjir Bengawan Solo yang merupakan bencana yang diakibatkan oleh alam dan diperparah oleh perilaku manusia (man-made disaster) serta kesalahan kebijakan (policy-lead disaster) ini, telah berdampak pada tercerabut dan tidak terpenuhinya paling tidak enam kebutuhan dasar manusia (minimum core requirement), yaitu air yang layak dan bersih, pangan yang mencukupi, perumahan yang nyaman dan aman, kesehatan yang terjamin, pendidikan yang baik, dan lingkungan hidup yang lestari dan sehat.

Puluhan ribu warga masyarakat di 20 kabupaten/kota yang tinggal di sepanjang sungai yang melintasi wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur ini harus mengungsi ke tempat yang lebih aman untuk menghindari terjangan air yang lebih parah. Sementara itu, belasan ribu rumah warga terendam, ribuan hektare tanah persawahan/perladangan tergenang, fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan, dan jembatan, rusak parah serta sederet kerusakan lainnya. Dalam peristiwa bencana, kelompok rentan dan minoritas adalah yang paling besar terkena dampak. Mereka antara lain kelompok anak-anak, perempuan, lanjut usia, penyandang cacat, petani, peternak, dan kelompok minoritas lainnya.

Menurut analisis sementara, penyebab banjir Bengawan Solo adalah kian tidak tertanganinya fungsi ekosistem daerah hulu alias rusak parah. Fungsi daerah hulu sebagai wilayah resapan air, tangkapan hujan, dan hutan lindung telah rusak karena penebangan hutan, konversi lahan hijau menjadi permukiman maupun wisata, dan sebagainya. Di daerah tengah atau perkotaan, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan industri, pembuangan limbah industri dan sampah dari aktivitas masyarakat telah menyebabkan sungai tercemar dan mengalami sedimentasi yang sangat serius.

Sedangkan di daerah hilir, sepanjang aliran Bengawan Solo telah dipenuhi oleh permukiman. Garis sempadan sungai sudah tidak normal lagi, sehingga semakin menyempit, karena tebing longsor ataupun ditimbun warga. Sedimentasi sepanjang aliran pun berjalan dengan cepat, sehingga mengganggu aliran air sungai yang semakin ganas di musim penghujan.

Menanggapi bencana ini, lagi-lagi pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum melakukan intervensi program secara parsial dan hanya berorientasi proyek. Departemen Pekerjaan Umum diberitakan akan membangun sekitar 30 dam untuk menahan laju air dan sedimen, sehingga tidak meluap ke luar aliran sungai. Dipastikan pembangunan dam yang berbiaya sangat besar hingga miliaran rupiah ini akan kembali didanai dengan dana utang luar negeri yang selama ini sudah berjalan namun terbukti tidak efektif. Buktinya, banjir sebagai akibat kerusakan sungai Bengawan Solo semakin parah terjadi. Di samping itu, metode ini tidak akan berjalan efektif dan tidak menuntaskan akar masalah selama persoalan dari hulu, tengah, hingga hilir tidak dibenahi.

Belajar dari amukan Bengawan Solo ini, pengelolaan sumber daya air yang integratif dan berbasis daerah aliran sungai (DAS) menjadi sangat mutlak diperlukan. Kerja sama yang efektif antardepartemen dan melibatkan semua wilayah provinsi/kabupaten/kota yang dialiri oleh Sungai Bengawan Solo dengan melibatkan partisipasi masyarakat/lembaga swadaya masyarakat adalah mutlak. Kerja sama ini dibingkai dalam skema kolaborasi yang efektif dan berkelanjutan antara daerah hulu, tengah, hingga hilir.

Masing-masing pihak, baik masyarakat maupun pemerintahan, harus mulai menata diri secara jelas karena mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting dan komplementer. Masyarakat adalah subyek sekaligus obyek dari kebijakan/pembangunan, sehingga harus dilibatkan secara substansif dalam setiap pengambilan kebijakan pembangunan agar tidak misleading. Sedangkan pemerintah adalah regulator dan policy maker yang bertanggung jawab memformulasikan dan melaksanakan kebijakan yang pro pada rakyat. Pembagian peran ini harus jelas sehingga tidak saling menyalahkan satu sama lain dalam penanganan bencana.

Untuk membangun motivasi serta semangat berkolaborasi yang efektif dan konstruktif, mekanisme insentif dan disinsentif menjadi salah satu opsi yang sangat mungkin dan diperlukan. Mekanisme insentif diberikan pada masyarakat di semua level wilayah, baik hulu, tengah, dan hilir, yang berkontribusi secara nyata dan berkelanjutan dalam menjaga kelestarian ekosistem sungai. Misalnya, masyarakat di hulu yang menjaga hutannya tetap lestari diberikan penghargaan baik material maupun nonmaterial, seperti biaya pendidikan dan kesehatan yang gratis serta perumahan yang layak untuk hidup. Masyarakat petani diberikan bantuan bibit tanaman produksi dan buah-buahan untuk ditanam di sela-sela hutan konservasi, sehingga ada manfaat yang bisa diambil masyarakat dalam menjaga hutan konservasi.

Kemudian mekanisme disinsentif bisa melalui jalur formal dan informal. Jalur formal adalah melalui penerapan kebijakan/peraturan perundang-undangan yang tegas, yang akan memberikan sanksi administratif, perdata, maupun pidana kepada orang/pihak yang telah merusak fungsi ekosistem sungai. Walaupun belum lengkap atau memuaskan, penerapan pemberian sanksi ini bisa menggunakan peraturan perundang-undangan yang telah ada, di antaranya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pada jalur informal, disinsentif bisa diterapkan pada komunitas kecil melalui kesepakatan desa/dusun, misalnya peraturan yang memberikan hukuman sosial/budaya bagi mereka yang merusak fungsi ekosistem sungai. Pada hal tertentu, terutama di wilayah yang masih kuat budaya dan tradisinya, jalur informal ini masih efektif namun sangat terbatas pada wilayah tertentu.

Bengawan Solo adalah aset bangsa yang bernilai sosial, ekonomi, lingkungan, dan historis yang sangat tinggi sehingga harus dijaga dan dilestarikan untuk masa depan pembangunan negeri ini. Jangan sampai aset bangsa ini berubah menjadi monster bencana akibat kerakusan manusia dan kesalahan kebijakan pemerintah. Mimin Dwi Hartono, Pemerhati Masalah Lingkungan Hidup Dan Hak Asasi Manusia



Post Date : 22 Maret 2008