|
Ada fenomena menarik dari para pengembang besar belakangan ini. Mereka mengemas produknya dengan pendekatan ramah lingkungan. Areal terbuka hijau diberi ruang antara 30 persen sampai dengan 50 persen. Bahkan, ada yang berani menyulap 65 persen areal proyeknya menjadi tanaman dan ruang terbuka. >brrsdc5Sentul City, Citra Raya, dan Lippo Cikarang, misalnya, membangun kawasan hutan dan penyerapan air. Pengembang kawasan perumahan-perumahan itu sadar benar bahwa konsumen rumah kini sensitif terhadap isu lingkungan. Mengabaikan lingkungan sama artinya dengan mencampakkan pembeli. Di luar aspek itu, para pengembang juga semakin menyadari, jika tidak memberi ruang pada lingkungan, perumahan yang dibangun kelak akan hancur. Direktur Sentul City Harie Ganie menyatakan, dari 3.100 hektar areal Sentul City, lebih dari 50 persennya untuk ruang terbuka hijau. "Kami memandang jauh ke depan. Peduli pada lingkungan, hal mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar," ujar Hari, Rabu (7/11) di Jakarta. Pengembang ini juga ingin membangun superblok, yang akan menjadi ikon di Sentul. Citra Raya dan Citra Indah juga meraih pasar yang positif karena bermain di koridor lingkungan. Mereka survive meski jauh dari Jakarta, di antaranya karena aspek lingkungan yang terjaga dan rencana ke depan yang konkret. Citra Raya bahkan diproyeksi menjadi kota mandiri, seperti Lippo Karawaci dan BSD City. Kota-kota kecil tersebut kini sudah mewujud sebagai kota yang lengkap. Kota-kota kecil itu pun rata-rata mempunyai sekolah, perguruan tinggi, pusat kesehatan, pusat perbelanjaan, sentra hunian yang memenuhi standar, arena rekreasi, kawasan hutan, dan fasilitas lainnya. Kurang menyadari Akan tetapi, di balik kecintaan pada lingkungan itu, hal yang tampaknya kurang disadari adalah sejumlah pengembang di Jakarta dan di sekitar Jakarta sudah merasa tugasnya selesai saat memberi ruang yang cukup untuk kawasan hutan dan daerah serapan air. Padahal, penyerapan air hujan tidak cukup dengan memberi ruang terbuka. Tidak cukup pula dengan hanya memberi ruang bagi hutan kota. Hal yang kurang disadari adalah bagaimana semua perumahan, baik besar dan kecil, mengelola sendiri air hujan atau air olahan untuk minum, mandi, dan kebutuhan lainnya. Beberapa tahun mendatang, negara ini, juga negara lain, akan merasakan krisis air yang gawat, apalagi kalau pemanasan global sudah benar-benar menyerbu. Dengan penggambaran ini, kalau perumahan tidak menyiapkan diri sejak sekarang, "akan mati kehausan". Mau mengisap air dari tanah sih boleh saja, tetapi sampai kapan? Pada saatnya air tanah akan habis diisap terus. Jalan tengah yang bisa ditempuh adalah menampung seluruh air hujan, termasuk dari atap ke dalam tanah. Buatlah semacam sumur resapan atau bak air seperti yang dilakukan warga Pontianak, Kalimantan Barat. Semua air hujan dari pancuran atap masuk ke bak itu. Ketika kemarau menggila, air di bak itu bisa digunakan. Ini berarti, semua perumahan harus membuat sumur resapan, cukup yang sederhana. Tidak perlu dengan beton. Air dari pancuran atap langsung masuk ke sana, dan warga tidak akan kehabisan air. Sampah Aspek lain yang perlu dikerjakan para pengembang ialah membangun sistem untuk mengolah sampah. Sekadar gambaran, warga Ibu Kota memproduksi 6.000 ton sampah per hari dan yang dapat diangkut hanya 4.800 ton. Sisanya berserak ke mana-mana, termasuk selokan, sungai, laut, dan sebagainya. Dari sini muncul ide, semua perumahan di DKI Jakarta, atau di kota lainnya, mengolah sampahnya sendiri. Jika tidak bersedia, pemerintah provinsi mungkin tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, jangan menangis kalau suatu waktu Pemprov DKI menyatakan tidak ada lagi ruang untuk pembuangan sampah. Kini, muncul fenomena, warga di banyak kelurahan di DKI Jakarta dengan kesadaran sendiri mengolah sampahnya menjadi kompos. Ini efektif sehingga kalau dulu warga tersebut buang sampah setiap hari, kini hanya sekali dalam empat hari. Seandainya semua pengembang menggunakan cara ini, mengolah sampah di perumahan yang dibangun, kepedulian pada lingkungan akan menjadi makin nyata. Produksi sampah DKI yang kini 6.000 ton per hari akan menjadi 500 ton per hari. Fenomena mengolah sampah sendiri jelas menarik sebab ada perspektif baru penanganan masalah sampah, yang kerap membuat pening kepala. Solusi Sebelum ini, aneka solusi mengatasi sampah sudah menjadi bahan pembicaraan, entah di ruang kerja, diskusi, atau seminar. Semua gagasan itu takkan ada artinya jika kemauan mengelola sampah tidak tumbuh, paling tidak dari lingkungan terkecil di rumah kita. Sampah rumahan, misalnya. Secara sederhana, sampah bisa dipilah-pilah, jenis sampah organik dan jenis sampah anorganik. Sampah anorganik antara lain berupa plastik, kaca, besi, dan logam. Adapun sampah organik seperti sayur-mayur, buah-buahan, dan daun atau ranting di sekitar rumah. Seorang praktisi pembuat pupuk kompos, Sofian, dalam bukunya, Sukses Membuat Kompos dari Sampah, terbitan PT AgroMedia Pustaka, mengatakan, jumlah sampah organik terus bertambah. Diperkirakan, setiap orang menghasilkan sampah organik sekitar setengah kilogram per hari. Jika penduduk Indonesia 220 juta orang, produksi sampah organik mencapai 110.000 ton atau 40,150 juta ton per tahun. Menurut Sofian, sampah bisa dikelola secara sederhana mulai dari lingkungan rumah kita. Hanya saja, perlu komitmen bersama untuk memilah mulai dari sampah rumah tangga. Lalu, kumpulkan dan cacah sampah organik itu. Kemudian, hasil pencacahan dicampurkan aktivator yang ada di pasaran, seperti dectro (cair) dan orgadec (padat). Aktivator inilah yang mempercepat proses pengomposan. Alhasil, setelah proses pembusukan berlangsung dalam beberapa hari, pupuk kompos sudah bisa dihasilkan dan dipasarkan. Mesin pencacah memang sangat bervariasi harganya, minimal Rp 20 juta per unit. Ada pula yang Rp 60 juta per unit. Namun, bagi Sofian, konsep mengolah sampah tidak akan ada artinya kalau hanya didukung oleh alat pencacah. Yang dibutuhkan adalah kemauan dari masyarakat. Bagaimana bisa sampah itu disebut "emas" yang bisa menghasilkan uang? Tentu, tidak setiap hari orang membeli pupuk seidentik dengan membeli makanan. Karena itulah, hasil produk turunan pupuk kompos harus memiliki nilai tambah lebih besar. Artinya, kita butuh lahan kosong yang cukup besar. Lahan itu ditanami, seperti tanaman bunga dan buah-buahan. Atau bisa juga rumput gajah yang butuh waktu satu bulan, jagung yang butuh tiga bulan, singkong, dan sebagainya. Kesuburan tanaman akibat pupuk kompos akan semakin cepat menghasilkan keuntungan. Itulah "emas" yang dihasilkan oleh sampah. (OSA/AS) Post Date : 08 November 2007 |