|
Lebih dari sepuluh tahun, warga Dusun Ploso, Giritirto, Purwosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, tak pernah kesulitan mencari air. Meski tetap harus bersusah payah berjalan kaki sejauh lebih dari 1 kilometer sembari mengangkat jeriken air, kebutuhan air selama musim kemarau relatif terpenuhi. Semua berkat kehadiran sel surya bantuan dari Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi atau BPPT. Seiring berjalannya waktu, kemampuan sel surya untuk mengangkat air dari Goa Pringgosari semakin menurun. Dua dari tiga sel surya serta satu dari dua genset yang dipasang telah rusak. Warga mengaku tidak tahu cara memperbaiki alat-alat berteknologi canggih tersebut. Laporan kerusakan sudah dibuat oleh pemerintah desa, tetapi sudah dua tahun belum diperbaiki. Panijo (72) yang sehari-hari diserahi tugas menjaga dan merawat panel surya mengaku hanya bisa membersihkan alat-alat tersebut dari debu menggunakan kain setiap hari. Selebihnya, dia sama sekali tidak tahu-menahu tentang cara kerja, perbaikan alat, maupun penggantian komponen yang rusak. ”Cuma bisa membersihkan luarnya saja,” ujarnya, Selasa (24/6). Pengangkatan air tersebut menggunakan sistem pompa air fotovoltaik. Pompa air yang digunakan berkapasitas daya 550 watt. Sumber air tersebut bisa memenuhi kebutuhan 183 kepala keluarga. Mereka pun hanya dipungut biaya Rp 50 per jeriken air untuk pemeliharaan alat sehingga tak perlu lagi membeli air dari mobil tangki keliling. Suyatini (50) mengeluh karena aliran air kini tak selancar dulu. Jika dulu hanya butuh dua menit untuk mengisi satu jeriken kecil bervolume 20 liter, kini bisa hingga lima menit. Warga pun akhirnya harus antre mengambil air sejak pukul 07.00 hingga tengah hari. Sudah tiga bulan memasuki musim kemarau, warga mulai kembali bergantung pada sistem pompa air bagi pemenuhan kebutuhan. Minimal, tiap rumah tangga membutuhkan empat jeriken air untuk mandi, minum, dan mencuci setiap hari. Apalagi Telaga Ploso yang biasa dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari juga telah mengering. Menurut Suyatini, akhir-akhir ini, panel sel surya tersebut sering mati bahkan hingga satu pekan. Antrean Dengan antrean yang semakin panjang, sebagian warga memilih turun ke dalam goa dengan kemiringan tangga lebih dari 60 derajat guna mengambil air untuk minuman ternak atau mengairi ladang. Padahal goa tersebut gelap sehingga harus diterangi dengan obor. Tangga yang ada pun licin ditumbuhi lumut di anak tangga. Sodik (29), misalnya, minimal harus 22 kali bolak-balik memikul air untuk mengairi ladang tembakau. Tiap pikulan biasanya berkapasitas 40 kilogram air. Saat tanaman butuh lebih banyak air, biasanya petani memilih tetap membeli air dari mobil tangki. Untuk irigasi lahannya, Sodik butuh 30 jeriken air yang dibeli seharga Rp 1.000 per jeriken. Pemanfaatan energi matahari sebagai daya dorong untuk mengangkat air juga dilakukan di Goa Plawan, Dusun Gabuk, Giricahyo, Panggang. Sel surya yang diklaim sebagai pembangkit tenaga terbesar di Indonesia ini mampu mengangkat air hingga 50 meter kubik per hari. Bantuan dari Departemen Pekerjaan Umum tersebut dipasang sejak Januari lalu. Warga telah memperoleh manfaat dengan pengangkatan air dari sepuluh sel surya tersebut. Untuk memenuhi satu bak penampungan air dengan kapasitas 1.000 liter, tiap warga kini dikenai biaya Rp 37.000. Sebelum ada sel surya, warga harus membayar hingga Rp 220.000 untuk pemenuhan tangki air. Antrean warga demi memperoleh air di dusun tersebut terakhir kali terjadi pada 2004. Menurut Kepala Dusun Gabuk Parijo (48), sel surya mampu memenuhi kebutuhan air warga di tujuh dusun. Air yang ditampung di bak utama kemudian dialirkan ke bak penampungan di tiap dusun. Mekanisme pembagian air ke tiap warga diserahkan di bawah pengelolaan pemerintah dusun. Parijo mengaku warga hanya bisa merawat sel surya dengan dibersihkan setiap satu bulan sekali dari seharusnya satu pekan sekali. Selain itu, pengamanan dari warga sekitar juga belum optimal. Selain memanfaatkan sel surya, warga biasa menggunakan genset untuk mengangkat air dari dalam goa. Namun sebagian kabel dari genset tersebut dicuri oleh pemuda desa dalam satu bulan terakhir. Bagi warga desa di Gunung Kidul, kehadiran aneka teknologi canggih masih terasa asing. Setiap hari mereka sudah merasakan manfaat dari teknologi seperti pembangkit listrik tenaga surya untuk mengangkat air. Namun, tetap saja ada jarak antara masyarakat sebagai pemakai dan teknologi sebagai penyedia energi. Jarak tersebut kian terasa ketika alat-alat rusak dan masyarakat tak bisa berbuat apa pun selain kembali pada kebiasaan lama sembari menanti perbaikan. (Mawar Kusuma) Post Date : 27 Juni 2008 |