Alam Selalu Disalahkan

Sumber:Kompas - 07 Januari 2006
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Tak perlu menyalahkan alam ketika terjadi bencana. Bencana yang terjadi di Jawa Timur hampir semuanya akibat ulah manusia. Namun, alam yang selalu disalahkan.

Berbagai bencana yang menimpa tak pernah menjadi pelajaran. Padahal, bukan sekali atau dua kali bencana menimpa masyarakat Jawa Timur. Selama tahun 2005 saja terjadi sedikitnya 17 bencana banjir dan longsor yang menewaskan 14 orang.

Selain itu, banjir dan longsor juga menyebabkan sedikitnya 2.300 rumah serta 3.200 hektar tanaman padi terendam. Tak terhitung harta benda yang hilang atau rusak. Namun, semuanya tak pernah menjadi pelajaran. Padahal sekali terjadi bencana, akibatnya sangat dahsyat.

Ketika terjadi bencana banjir dan tanah longsor di Kabupaten Jember, 16 Januari 2005, misalnya, setidaknya dua orang meninggal dan lima lainnya luka-luka. Begitu pun saat terjadi banjir di Kabupaten Pasuruan 14 Maret 2005, banjir merendam 731 rumah selama berhari-hari.

Bahkan saat terjadi banjir di Kabupaten Bojonegoro, Gresik, dan Jombang, 6 April 2005, lebih dari 1.200 rumah terendam . Banjir juga merendam 671 hektar sawah di tiga kabupaten tersebut selama berhari-hari sehingga sawah yang siap ditanami hancur.

Tak cuma itu, banjir yang terjadi di Malang, 16 Oktober 2005, menyebabkan sedikitnya 40 rumah rusak, 130 hektar sawah terendam, belum lagi tambak udang yang hancur. Adapun banjir di Kabupaten Pacitan, 12 Desember 2005, menyebabkan sedikitnya 600 hektar sawah terendam dengan nilai kerugian sekitar Rp 800 juta.

Terakhir banjir bandang dan longsor yang terjadi di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, 1 Januari 2006, tepat ketika kabupaten tersebut merayakan ulang tahun. Banjir bandang tersebut menyebabkan sedikitnya 74 orang tewas, puluhan rumah hancur, dan 340 hektar sawah rusak karena tersapu banjir bandang dan tanah lumpur.

Meski bencana-bencana tersebut merupakan fenomena alam, semuanya tidak terlepas dari ulah manusia. Di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, yang terletak di kaki Gunung Argopuro, misalnya, sudah sejak beberapa tahun lalu terjadi penebangan liar. Bahkan hutan lindung di Gunung Argopuro, berubah fungsi. Luasnya tidak tanggung-tanggung.

Tahun 2002, misalnya, luas hutan lindung di Kecamatan Panti mencapai 2.142 hektar. Namun, pada tahun tahun 2004 luas hutan lindung di kawasan tersebut tinggal 583 hektar atau berubah fungsi seluas 1.559 hektar.

Data perubahan fungsi tersebut bukan disampaikan lembaga swadaya masyarakat, tetapi tertera jelas dalam buku Kabupaten Jember Dalam Angka Tahun 2002, 2003 dan 2004 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember. Data BPS tersebut bersumber dari Perum Perhutani/Kuasa Pemangkuan Hutan (KPH) Jember.

Sementara itu, di Kecamatan Panti luas hutan produktif justru meningkat tajam dari 1.182 hektar pada tahun 2002 menjadi 1.216 hektar pada tahun 2003. Adapun tahun 2004 bertambah 756 hektar menjadi 1.972 hektar. Sementara luas Kecamatan Panti 16.071 hektar dan jumlah penduduk saat ini 56.673 hektar.

Tidak heran jika kemudian, Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban cukup geram dengan kejadian ini. Perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pola pikir masyarakat dan budidaya pertanian. Lereng yang terjal, semestinya tidak boleh ditanami kopi, kata Kaban ketika melihat lokasi bencana.

Lahan kritis

Sebenarnya bukan cuma di Kabupaten Jember yang terjadi perubahan fungsi lahan. Hampir di seluruh wilayah Jawa Timur, terjadi pergeseran fungsi lahan. Bahkan lahan yang semestinya berfungsi sebagai lahan konservasi, sekarang berubah menjadi lahan komersial.

Taman Nasional Alas Purwo seluas 43.420 hektar di Kabupaten Banyuwangi, misalnya, kini sekitar 40 persennya dalam kondisi kritis, sangat kritis, dan agak kritis akibat penjarahan liar.

Begitu pun Taman Nasional Meru Betiri seluas 55. 667 hektar di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember kini sekitar 70 persen di antaranya dalam kondisi agak kritis.

Taman Bromo-Tengger-Semeru yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Timur nasibnya pun hampir sama. Sekitar 80 persen di antaranya kini dalam kondisi agak kritis, kritis, dan sangat kritis.

Di dataran tinggi Hyang Argopuro yang baru saja terjadi bencana, dari areal seluas 14.177 hektar, sekitar 90 persennya memang dalam kondisi kritis dan agak kritis.

Namun, pihak yang berwenang, selalu saja mempunyai berbagai alasan. Wakil Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perum Perhutani Unit II Kabupaten Jember Soetadji, misalnya, mengatakan, luas lahan KPH Jember seluruhnya 76.010,58 hektar.

Penebangan di lahan milik Perhutani saat ini berlangsung di lahan A2 karena diameter pohonnya sudah memenuhi syarat dan memasuki masa tebang.

Lahan yang sudah masuk masa tebang tersebut, antara lain, kawasan hutan jati seluas 39,8 hektar, pohon mahoni seluas 30,9 hektar, dan kawasan pohon pinus seluas 34,8 hektar. Di luar lahan A2 yang telah ditentukan itu tidak boleh dilakukan penebangan, ujar Soetadji.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) Choirul Sholeh Rasyid, yang memantau lokasi bencana dan sedang berada di Jember dalam masa reses, menyatakan banjir dan longsor yang terjadi di Jawa Timur, termasuk di Kabupaten Jember, tak bisa dibantah lagi akibat penggundulan hutan.

Lihat saja fakta-faktanya. Dari arus air itu, bukan hanya bersama lumpur, tapi juga turut hanyut batang-batang pohon hasil tebangan liar, ujar Choirul Sholeh Rasyid.

Anggota DPR dari Daerah Pemilihan IV (Jember-Lumajang) ini mengatakan pula bahwa praktik penggundulan hutan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, tetapi sulit dilacak atau tidak pernah ada penegakan hukum yang tegas.

Tidak heran jika bencana banjir dan tanah longsor kemudian datang silih berganti di Jawa Timur. Namun selalu saja masyarakat serta aparat pemerintah tidak bercermin dan alam yang selalu disalahkan. (D12)Oleh Syamsul Hadi dan Samuel Oktora

Post Date : 07 Januari 2006