|
Jakarta, Kompas - Penolakan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian (judicial review) Undang-Undang No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, akan memperkecil akses masyarakat terhadap pemanfaatan air. Sebab peluang privatisasi air semakin terbuka. Menurut Wahyu Susilo dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), putusan MK menolak permohonan judicial review UU Sumber Daya Air telah membuka ruang lebih lebar bagi privatisasi air di Indonesia. Tanpa UU Sumber Daya Air itu pun privatisasi terselubung sudah ada di Indonesia, kata Wahyu di Jakarta, Jumat (22/7). Ia menyebutkan contoh, pengelolaan air bersih di Jakarta sudah dilakukan pihak asing. Meski demikian, kata dia, pelayanannya tetap buruk. Ia mengatakan, penolakan judicial review itu menunjukkan bahwa MK mengesampingkan pertimbangan hak asasi manusia dan kebutuhan riil rakyat akan sumber daya air. Kita akan memperkuat advokasi pada masyarakat lokal, ujarnya. Raja Siregar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memaparkan, sumber air akan dikuasai sepenuhnya oleh pemegang hak guna usaha dan hak pakai air, yang diakomodir dalam UU Sumber Daya Air. Hak guna usaha dan hak pakai air memberi peluang perorangan atau badan usaha swasta untuk mengelola air dengan izin pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Dalam praktiknya, pemegang hak guna usaha memiliki hak untuk mengeksploitasi sumber daya air di wilayah tertentu sesuai kebutuhannya. Berbeda jika mereka hanya diberi izinbukan hakyang memungkinkan pemerintah untuk membatasi atau mencabut izinnya, ungkap Siregar kepada wartawan di Jakarta, Kamis (21/7). Waspadai arbitrase Ia menjelaskan, pihak pengusaha swasta lokal atau asing dapat menuntut melalui pengadilan atau arbitrase jika pemerintah mengusik kegiatan usahanya setelah mendapat hak guna usaha. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki izin apalagi hak guna usaha, tidak dapat menuntut perlakuan yang sama dengan pengusaha tersebut. Padahal, dampak kekurangan air akibat eksploitasi oleh pengusaha akan diderita oleh masyarakat, kata Siregar. Dampak jangka panjang dari krisis air akibat privatisasi sumber daya air akan sampai kepada petani. Ketika mereka kekurangan air, para petani itu akan beralih ke tanaman jangka pendek, seperti jagung atau cabai. Ini sudah terjadi di Sri Lanka. Dan itu akan mengganggu swasembada pangan, tuturnya. Menanggapi penolakan MK terhadap permohonan judicial review UU Sumber Daya Air, Tim Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air akan mengirim surat kepada MK. Pekan depan kami akan mengirim surat kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertanyakan perihal mekanisme conditionally constitutional dalam putusan MK. Kami pun akan menguji klausul MK tentang itu, kata Siregar. Ahli pengelolaan air minum perkotaan, Wijanto Hadipuro, mengemukakan bahwa kemungkinan pengujian kembali bukan merupakan hal lazim dalam putusan perkara judicial review. Keputusan ini bisa ditafsirkan adanya keraguan dalam pengambilan keputusan. Hal ini terbukti pula dengan munculnya dissenting opinion (pendapat berbeda) dari dua hakim Mahkamah Konstitusi, ungkap Wijanto yang juga sebagai saksi ahli yang diajukan pemohon dalam perkara itu. (LAM) Post Date : 23 Juli 2005 |