|
BANJIR yang merendam ribuan rumah dan puluhan ribu hektar sawah di lima wilayah kabupaten di Sumatera Selatan awal tahun ini sudah mulai surut. Warga yang sempat mengungsi mulai kembali ke tempat tinggal mereka, dan petani menunggu benih bantuan untuk kembali menanami sawah mereka. Masyarakat kembali ke kehidupan normal mereka setelah dilanda bencana. Akan tetapi, apakah setelah ini mereka akan terlepas dari ancaman terkena banjir serupa? Sebab, banjir besar tidak semata-mata terjadi karena air sungai meluap atau curah hujan yang tinggi, sebagaimana yang kerap disebut para pejabat daerah sebagai penyebabnya. Sebagai sebuah ekosistem, banjir yang terjadi di hilir daerah aliran sungai (DAS) tidak lepas dari kondisi yang terjadi di bagian hulu. Maka, mari melihat ke hulu. Sungai Musi begitu akrab dengan kehidupan masyarakat Palembang. Sungai ini membelah Palembang menjadi bagian hulu dan hilir. Akan tetapi, di manakah sebenarnya letak hulu sungai kebanggaan warga Sumatera Selatan (Sumsel) ini? Musi adalah tempat bermuara sembilan anak sungai besar, antara lain Sungai Ogan, Komering, Lematang, Batang Hari Leko, Rawas, Lakitan, Kelingi, dan Enim. Sungai-sungai itu menyusuri sejumlah kabupaten di Sumsel. "Hulu Sungai Musi sukar ditetapkan lokasinya karena jumlah anak sungai banyak dan tersebar. Anak-anak sungai itu hanya berupa parit-parit kecil yang jumlahnya ratusan," kata Dulhadi, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, Senin (31/1). Sumber air dari ratusan parit itu adalah air hujan yang meresap ke dalam tanah menjadi air tanah. Sebagian air mengalir menjadi air permukaan, sebagian lagi tersimpan di antara akar-akar pohon-pohon di kawasan hutan konservasi. Ketika pohon-pohon tersebut ditebang, air tidak lagi memiliki penahan. Dengan bebas, air hujan yang turun ke tanah mengalir menjadi air permukaan, terus turun ke daerah hilir yang lebih rendah. Ironisnya, sebagian besar hutan di kawasan hulu sungai ditengarai berada dalam kondisi rusak. "Pemantauan lapangan yang dilakukan oleh Walhi Sumsel di daerah Pelawi, Musi Rawas, menunjukkan kondisi salah satu hulu Sungai Musi itu sangat kritis," ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Aidil Fitri. Sebagian besar vegetasi asli di kawasan itu sudah berubah menjadi tanaman monokultur yang diusahakan oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Sementara di daerah Cecar yang termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), hutan rusak akibat aktivitas penebangan liar (illegal logging). Kondisi di salah satu hulu Sungai Musi itu hanya sebagian kecil dari cerminan kerusakan hutan di daerah aliran sungai di Sumsel. Data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah II Palembang mencatat, luas kawasan hutan di Sumatera Selatan mencapai 3,276 juta hektar (ha) atau sekitar 32,42 persen dari total luas wilayah daratan Sumsel. Kawasan tersebut terdiri atas hutan konservasi seluas 711.778 ha, hutan lindung seluas 539.645 ha, hutan produksi 2.024.702 ha, dan kawasan hutan produksi yang dikonversi untuk penggunaan nonkehutanan seluas 498.332 ha. Namun, berdasarkan citra satelit terhadap kawasan hutan Sumsel pada 2001, lahan yang masih bervegetasi hutan hanya sekitar 1,404 juta ha. Ini berarti sekitar 1,87 juta ha hutan berupa kawasan yang tidak produktif karena vegetasi aslinya sudah habis. BKPH memperkirakan laju degradasi dan deforestasi area kehutanan di Sumsel mencapai 170.000 ha per tahun. Kerusakan kawasan hutan terus bertambah, terutama karena aktivitas penebangan liar, perambahan hutan, kebakaran hutan, dan konversi hutan untuk kepentingan nonkehutanan. (DOT) Post Date : 01 Februari 2005 |