|
Kebayang kagak sih kalau di bulan-bulan "ber-ber-ber" nanti, pas lagi musim kemarau abis, warga kota bakalan kesusahan cadangan air bersih dan air basah. Saat itu hujan tidak turun-turun, ke-13 sungai yang mengalir ngelewatin DKI Jakarta dan sekitarnya juga airnya seret dan makin kering. Lebih celaka lagi, air tanah di bawah wilayah DKI Jakarta plus Bodetabek konon juga ketularan keringnya. Jadi, tunggu saja cerita sedih-susahnya, orang-orang bakalan sulit dapat air karena air baku dari Sungai Cisedane, Pasanggrahan, Kali Krukut, Kali Malang yang bersumber dari Kali Tarum Barat yang berhulu Sungai Citarum sudah terasa seretnya. Juga air bawah tanah sebagai sumber suplai air ke ledeng rumah pelanggan, sumur pompa, maupun sumur galian bakalan makin tidak gampang disedot mesin dan ditimba orang. Bagi sekitar 708.000 pelanggan air ledeng "bikinan" PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ), selain waswas karena tarif akan naik 17,32 persen, juga mereka harus inget-inget, pasokan air dari daerah hulunya Sungai Ciliwung mulai seret. Malah Waduk Jatiluhur yang menampung gelontoran air Sungai Citarum juga sudah merosot kandungan airnya. Jangan-jangan air ledeng aliran kedua PAM yang patungan dengan Perancis dan Inggris ini juga bakalan tidak "mengalir sampai jauh". Siapa yang bisa hidup enak tanpa air. Mulai bangun tidur pagi sampai siap-siap tidur malam lagi, setiap orang butuh air minum, cuci-cuci barang, dan cairan peranti bersih-bersih segala benda pelengkapan hidup, kayaknya semua pakai cairan bernama air. Jakarta yang kota besar, pengurus kota ini sejak zaman baru merdeka sampai kemarin sore, soal air bersih dan air minum untuk warga, sudah menjadi prioritas pengelolaannya. Semenjak zaman Belanda, sebelum PAM Jaya berblasteran dengan perusahaan air Paris dan London, sejak 1922 sudah ada Waterleidingen yang cikal bakalnya perusahaan air minum. Makin lama proses pengolahan air baku, fasilitas distribusi, sampai pelayanan bagi pelanggannya terasa makin keteter. Alhasil belakangan ini, seiring dengan meningkatnya warga kota yang harus hidup dengan air basah, terhitung bahwa pelanggan PAM hanya sekitar 60 persen saja. Padahal, kedua partner asing itu terus berusaha meningkatkan jumlah pelanggannya, sambil berusaha menaikkan biaya bulanannya dengan penyesuaian tarif otomatis (PTO). Sebab, sejak tahun 2005 sampai 2007 nanti, beban bayaran air akan naik otomatis setiap enam bulan sekali. Cadangan air seret Syukurlah kalau pelanggan yang notabene mampu membayar biaya langganan, tetapi setengah lebih warga kota ini, merupakan orang yang memanfaatkan air baku asal air tanah, atau juga air langsung dari sungai dan kali. Gimana-gimananya, ya bagaimana? Sebab, selain kualitas air terus merosot karena pencemaran segala macam bakteri produk kota, juga kuantitas cadangan airnya makin seret dan turun gara-gara sedotan bangunan besar, hotel, dan industri sekitaran DKI Jakarta, belum lagi dalam bulan kemarau panjang nanti, air pun diduga makin tidak basah saja. Hati-hatilah soal air. Benda cair yang sumber kehidupan sehat itu bakalan makin mahal dan susah diperoleh cuma-cuma di sumur dan kali. Hidup di kota besar tidak ada yang prei. Semuanya harus bayar atau bubar!RUDY BADIL Post Date : 22 Agustus 2006 |