|
Semarang, Kompas - Permukaan air pada puluhan waduk dan sungai di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, terus menyusut. Penyusutan ini perlu diwaspadai, karena musim kemarau masih akan berlangsung setidaknya empat bulan lagi, dan lebih kurang 60 persen produksi beras nasional berasal dari Pulau Jawa. Kekhawatiran terhadap menurunnya debit air tersebut misalnya tampak di Jateng. Penyusutan air di sejumlah bendung yang menjadi titik kontrol berlangsung terus-menerus. Menurut laporan yang diberikan pada Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jateng antara minggu ketiga Juni 2006 dan minggu pertama Juli 2006, volume air 27 bendung menyusut berkisar antara 20-70 persen. Beberapa bendung yang menyusut cukup besar adalah Bendung Congkar (Brebes), Bendung Kaliwadas (Pemalang), Bendung Kalisapi (Banjarnegara), dan Bendung Cilemeh (Cilacap). Kerusakan lingkungan Kepala Dinas PSDA Jateng Nidhom Azhari, Selasa (11/7), di Semarang, menyatakan, bendung tersebut sangat bergantung pada air sungai. Kerusakan lingkungan menyebabkan sebagian besar daerah aliran sungai tidak berfungsi optimal. Ini ditandai dengan kekeringan di sungai pada musim kering dan banjir pada musim hujan. Pada pemantauan 38 waduk di Jateng, secara keseluruhan ketersediaan air surplus, kendati beberapa unit mengalami defisit karena tengah dikosongkan atau mengalami kerusakan. "Dari volume rencana sebesar 1,277 juta meter kubik, realisasinya mencapai 1,561 juta meter kubik atau surplus 22 persen. Namun, harus diakui ada sejumlah unit yang volume airnya rendah karena sedang dalam perbaikan, atau rusak," ujarnya. Persoalannya, ujar Nidhom, 38 waduk itu hanya mampu menyuplai kebutuhan air 20 persen lahan pertanian atau sekitar 200.000 hektar. Seluas 800.000 hektar lahan pertanian lainnya masih bergantung pada air sungai, yang kondisi DAS-nya pun sebagian besar telah rusak. Kepala PSDA Bengawan Solo Djohan Hidajat, Selasa, di Solo, mengungkapkan, tiga waduk di wilayah eks Karesidenan Surakarta juga kering sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk keperluan irigasi pertanian dan lainnya. Tiga waduk itu adalah Waduk Brambang di Sragen, Waduk Kedunguling dan Waduk Plumbon di Wonogiri. Menurut Djohan, meski mengering, tetapi waktu mengeringnya sesuai perencanaan. "Tahun ini relatif lebih baik di banding tahun lalu. Dulu pertengahan Juni waduk-waduk sudah mengering. Tahun ini, hujan turun lebih panjang, sehingga waduk mengering baru-baru saja," ungkapnya. Waduk terbesar yang ditangani Balai PSDA Bengawan Solo adalah Waduk Gajahmungkur. Persediaan airnya relatif masih normal. Meski berdasarkan pengamatan visual, seperti diungkapkan Kepala Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur Dinas Perhubungan Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Wonogiri Bagus Sudarsono, volume air waduk telah menyusut 10 meter dari tepian waduk, tetapi elevasi air berdasarkan pengukuran Balai PSDA masih normal. Menurut Djohan, Waduk Gajahmungkur diperkirakan akan kering akhir September mendatang. "Ini jika pengguna arif memakai air. Kami tidak mengurangi debit, meski masuk musim kemarau, yang penting semua disiplin," ujarnya. Sebanyak 20 waduk yang dikelola Balai PSDA Bengawan Solo menyuplai lebih dari 47.000 hektar sawah di wilayah Eks Karesidenan Surakarta. Waduk-waduk yang berukuran lebih kecil dari Gajahmungkur diperkirakan akan kering Agustus mendatang. Saat ini, volume air waduk-waduk itu berkurang 20-30 persen. Sebagian petani yang mendapat air dari Waduk Delingan, Karanganyar, sejak Mei lalu membiarkan lahan sawahnya tidak ditanami karena pengalaman tahun-tahun sebelumnya mengajarkan, air tidak akan mencukupi kebutuhan tanaman untuk dapat panen dengan baik. Waduk lainnya di Karanganyar, yakni Lalung, diperkirakan akan kering dalam sepekan mendatang. Air dari waduk ini mengairi pertanian di Sukoharjo dan Karanganyar. Di Kota Salatiga, debit tiga sumber air Kalisirawa di Dusun Purwosari, Kelurahan Noborejo, Kecamatan Argomulyo, mulai menipis. Tiga sumber air itu biasa dimanfaatkan warga di Cebongan, Isep-isep, serta Pos Tingkir. Selain digunakan untuk mengairi areal persawahan, sebagian air dimanfaatkan untuk mencuci. "Penyusutan tiga sumber air ini lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, bulan Juli airnya belum sampai berkurang. Tetapi tahun ini penurunan debit air sudah terjadi sejak dua bulan lalu. Diperkirakan Agustus nanti tiga sumber air ini sudah mengering," kata Dulkamid (85), warga Purwosari. Sementara itu, Jawa Barat juga mengalami masalah dengan menurunnya muka air. Penyusutan muka air Waduk Jatiluhur berdampak bagi pasokan air di PDAM Purwakarta. Turunnya muka air waduk menyebabkan kerja pompa air menjadi berat. Dalam sebulan terakhir debit air yang dihasilkan berkurang dari 220 liter per detik menjadi 205 liter per detik. Selain itu, beban listrik akibat turunnya muka air meningkat sekitar 13 persen. "Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk penjernihan otomatis juga naik karena meningkatnya kekeruhan air baku," ujar H Idi Suryadi, Direktur Utama PDAM Purwakarta, Selasa. Ia menambahkan, meningkatnya kekeruhan karena pipa penyedotan semakin dekat dengan dasar waduk. Padahal, di dasar waduk banyak endapan sisa pakan dan kotoran ikan dari petak-petak keramba jaring apung di sekitar pipa. Dalam sebulan terakhir konsumsi bahan sodium mencapai 80 kilogram per hari, sedangkan sentaco 375 kg per hari. Kedua bahan kimia itu digunakan dalam proses penjernihan dan penyaringan bibit penyakit. Entang Kamil, Kepala Bagian Produksi Air PDAM Purwakarta menambahkan, tinggi muka air menurun hingga empat meter dalam sebulan terakhir. Menurut dia, hal itu yang mengharuskan penyambungan pipa penyedot air hingga enam meter ke bawah karena panjang pipa selama ini tidak menjangkau muka air. "Petak-petak keramba seharusnya berjarak minimal satu kilometer dari pipa. Namun karena jumlahnya terus bertambah, kini hanya berjarak 200 meter sehingga potensi kekeruhan sangat tinggi," tambahnya. Sungai Barito Penyusutan air juga tampak di Sungai Barito di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Rata-rata kedalaman air yang biasanya di atas lima meter kini sebagian besar berkisar tiga hingga lima meter. Kemarau panjang yang berdampak terus menyusutnya debit air Barito akan membuat kapal-kapal besar pengangkut batu bara dan kelapa sawit tak dapat melintas. Selain itu, akan muncul lumpur gosong, pasir dan rumah-rumah apung warga bakal banyak yang terdampar. Menyurutnya air DAS Barito di kabupaten ini terus berlangsung dalam sepekan terakhir," kata Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Fery Kusmiyadi, Selasa. Menyurutnya air Barito di daerah itu sangat kontras dengan beberapa aliran sungai di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang dua pekan terakhir justru meluap dan membanjiri beberapa kabupaten di kedua provinsi itu. Banjir luapan Barito di Barito Utara terjadi lebih dahulu. Sekarang, mulai masuk kemarau," kata Ferry. Kekeringan yang mencemaskan, juga mulai melanda sebagian besar wilayah Provinsi Jambi akibat hujan tidak turun selama lebih sebulan. Di beberapa tempat, seperti di Kabupaten Sarolangun, Muaro Jambi, Batanghari, Tebo dan Bungo dan Kota Jambi, sebagian sawah retak, tanaman padi berusia antara satu hingga dua bulan daunnya mulai kuning. Kendati belum mengganggu lalu lintas penerbangan dan pelayaran di Sungai Batanghari, asap mulai tampak membungkus udara Jambi. Pemantauan yang dilakukan Kompas hari Selasa (11/7), ketinggian permukaan air Sungai Batanghari di Kota Jambi kini hanya sekitar 6,5 meter dari permukaan laut (dpl) atau telah surut sekitar tujuh meter dibanding ketinggian rata-rata saat banjir tahunan. Di banyak lokasi di Kabupaten Muaro Jambi dan Batanghari dasar sungai telah timbul berupa hamparan pasir memanjang. Sebagian petani sayuran di Desa Lopak Alai dan Kasang Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi terpaksa memompa air dari sumur untuk menyiram tanaman. Ke kawasan sebelah hulu dari Kota Jambi, Sungai Batanghari praktis tidak bisa dilayari kapal tunda menggandeng tongkang pengangkut pasir dan kerikil. Pelabuhan Talang Duku Jambi yang berada di Sungai Batanghari, 20 km sebelah timur laut Kota Jambi, 110 km dari pantai timur Sumatera tidak bisa lagi dicapai oleh kapal dengan bobot mati lebih 500 ton. Alur pelayaran di beberapa tempat di Sungai Batanghari, seperti di Muaro Jambi dan Sungai Klemak dangkal. (NAT/FUL/MKN/AND/EKI/WHY/SON/WSI/SUP) Post Date : 12 Juli 2006 |