|
Sambil jongkok, pandangan mata Rigo (50) menyapu tanah dasar telaga di Dusun Kemiri, Tanjungsari, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mengering dan mulai retak-retak. Kini tak ada lagi air telaga untuk mencukupi aneka keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci baju, dan memandikan ternak. Tampungan air hujan dengan kapasitas tiga meter kubik di rumah juga tak lagi menyisakan satu tetes air pun. Rigo terpaksa harus minta air ke tetangga yang memiliki tampungan air hujan dengan kapasitas lebih besar. Air yang dijajakan oleh penjual tangki air tak terbeli olehnya. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) telah diikuti lonjakan harga air hingga Rp 125.000 per tangki dari sebelumnya hanya Rp 90.000. Tiap tangki air memiliki daya tampung 5.000 liter. Sebelumnya, Rigo mengharapkan hasil panenan kacang tanah untuk pembelian air. Namun, panenan tersebut gagal akibat serbuan hama tikus dan hanya menghasilkan panenan senilai Rp 1 juta yang habis untuk membayar utang biaya hidup sehari-hari. Rigo kini harus menunggu duit hasil penjualan ubi kayu dari panenan pada satu bulan mendatang untuk membeli air. Dia mengaku bersyukur hidup di pedesaan sehingga bisa mengandalkan kebaikan hati para tetangga. Pada musim-musim kemarau sebelumnya, Rigo biasa menghabiskan satu tangki air dalam waktu tiga bulan. Padahal rata-rata penggunaan air warga Gunung Kidul yang mampu membeli air satu tangki untuk satu bulan. Kini, Rigo, istri serta seorang anaknya harus benar-benar menghemat air. Mencuci baju yang biasa dilakukan satu pekan sekali di telaga kini dikurangi menjadi tiga pekan sekali. Itu pun, dia harus berjalan kaki lebih kurang 2 kilometer untuk mencuci baju di muara aliran sungai bawah tanah Pantai Baron. Air untuk mandi pun dibatasi hingga sekitar empat gayung untuk satu kali mandi. Kemarau juga menyebabkan petani di Gunung Kidul tak lagi mampu mengolah sawah. Seusai panen ubi kayu, Rigo dan rekan-rekan harus beralih profesi menjadi buruh serabutan. Saat ini warga Dusun Kemiri masih mencoba menanami dasar telaga dengan tembakau. Air mahal Kesulitan air akibat musim kemarau dan mahalnya harga air juga dialami Sariman (70). Meski sempat mendapat bantuan tampungan air hujan dengan kapasitas sembilan kubik, dia tetap harus benar-benar berhemat karena air tersebut harus dibagi dengan tetangga yang mulai kehabisan stok air. ”Kasihan karena banyak yang baknya tidak muat,” ungkapnya. Penjual air menggunakan mobil tangki mengaku serba salah. Meski tidak tega pada penderitaan warga, mereka terpaksa tetap harus menaikkan harga air karena tingginya biaya operasional untuk membeli BBM. Padahal kebutuhan warga terhadap air semakin meningkat. Dalam satu hari, tiap mobil tangki bisa bolak-balik hingga sepuluh kali untuk menjual air. Penjual air bernama Budi mengatakan, permintaan air akan terus meningkat terutama setelah memasuki bulan Juli. Kenaikan harga air berkisar mulai Rp 10.000 hingga Rp 35.000 per tangki air, tergantung dari jarak dari mata air. Budi biasa kulakan air dari tiga mata air di Wonosari, ibu kota Gunung Kidul. Biasanya dia membayar Rp 15.000 per tangki air dan membutuhkan hingga 8 liter bensin untuk menyalurkan air. Aparat desa juga kesulitan karena pagu anggaran yang telah ditetapkan untuk droping air gratis bagi warga miskin tak lagi mencukupi. Di Desa Banjarejo, Tanjungsari, misalnya, harga air bisa mencapai Rp 150.000 per tangki. Camat Tanjungsari Edy Basuki memastikan dana Rp 64 juta yang telah disiapkan tidak akan mencukupi untuk 120 kali droping air pada 44 dusun di Tanjungsari selama musim kemarau. Camat Panggang Agus Hartadi menambahkan, dari 44 dusun di Kecamatan Panggang, 32 di antaranya masuk kategori rawan kekeringan sehingga menjadi prioritas droping air. Anggaran droping air tahun ini di Panggang Rp 56 juta. ”Kami akan mengajukan penambahan dana Rp 10-Rp 12 juta dari APBD Gunung Kidul supaya mencukupi,” jelas Agus. Debit air yang dikelola oleh PDAM, menurut Direktur Utama PDAM Gunung Kidul, Tjiptomuljono, juga masih belum mencukupi kebutuhan air seluruh masyarakat. PDAM hingga kini memberlakukan sistem penjatahan dengan aliran hanya satu pekan sekali selama beberapa jam untuk mayoritas pelanggan yang bermukim di wilayah bagian selatan Gunung Kidul. Di wilayah bagian selatan Gunung Kidul yang didominasi perbukitan kapur, jumlah mata air memang sangat terbatas. Dari 282 telaga di Kabupaten Gunung Kidul yang dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk aneka kebutuhan, sebanyak 217 di antaranya akan mengering ketika memasuki musim kemarau. Warga Gunung Kidul sudah mengakrabi bencana kekeringan yang pasti datang setiap tahun. Namun, awal musim kemarau kali ini sudah terasa cukup berat akibat kenaikan harga air, padahal air merupakan kebutuhan mendasar manusia. Tanpa makan, manusia masih bisa bertahan hidup. Tapi tak ada satu orang pun yang bisa bertahan hidup tanpa air yang kian tak terbeli.... Mawar Kusuma Post Date : 06 Juni 2008 |