Pekan lalu, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta inspeksi mendadak sumur bor dalam ke empat tempat di Jakarta Utara, yakni Marunda, Pegangsaan, Cilincing, dan Sunter. Di empat lokasi itu ditemukan dua sumur ilegal dan lima sumur bor dengan meteran bermasalah. Oleh karena tidak berizin dan tanpa meteran, mereka menyegel ketujuh sumur itu.
Sebelumnya, sidak juga berlangsung di kawasan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP). Dari 40 perusahaan yang ada di JIEP, terdapat 18 sumur dalam, 30 sumur pantek, 14 sumur dengan meteran tidak beroperasi, dan 3 sumur ilegal. Sedangkan di Jalan Raya Bogor, dari 48 perusahaan yang ada juga ditemukan 62 sumur bor, 51 sumur pantek, 18 sumur bermeteran rusak, serta 20 sumur ilegal.
Fenomena kemunculan sumur-sumur ilegal, baik sumur bor maupun sumur pantek di DKI Jakarta kian mengkhawatirkan. Hingga Agustus 2010, jumlah sumur bor dalam di DKI Jakarta berjumlah 4.011 sumur dengan jumlah penyedotan air sekitar 20 juta meter kubik per tahun. Perlu diketahui, jumlah itu hanya berasal dari konsumsi industri, belum termasuk konsumsi air tanah oleh rumah tangga serta kegiatan usaha lainnya yang tidak terpantau.
Mengingat eksploitasi air tanah yang kian tidak terkendali, tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mendesak sejumlah pengusaha industri pengolahan agar menghentikan penggunaan sumur bor dalam dan beralih ke air bersih perpipaan. Di kawasan JIEP, 238 pabrik diminta beralih ke air perpipaan karena sumur dalam mereka akan ditutup.
Pelaksana Harian Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ridwan Panjaitan mengatakan, jika pemakaian air tanah tidak dikendalikan, tahun 2050, intrusi air laut di DKI Jakarta akan mencapai kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Jika air laut merembes hingga ke pusat kota, air tanah di DKI Jakarta akan bertambah asin, dan tidak layak untuk dikonsumsi.
”Air tanah yang berada pada zona merah atau kritis terjadi di Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara. Hanya wilayah Jakarta Selatan yang saat ini kualitas air tanahnya masih relatif bagus,” kata Ridwan.
Selain merusak kualitas air tanah, maraknya pembuatan sumur bor dalam dapat merusak lingkungan, seperti menurunkan permukaan air tanah, menyebabkan tanah ambles, dan penyusupan air laut. Peristiwa amblesnya Jalan RE Martadi- nata di Ancol, Tanjung Priok, September 2010, merupakan salah satu fenomena betapa dahsyatnya intrusi air laut. Situasi akan semakin parah jika pembuatan sumur bor di DKI Jakarta terus tidak terkendali.
Ridwan mengatakan, prinsipnya, pemakaian air tanah hanya sebagai alternatif atau cadangan saja jika pelayanan air pipa dari perusahaan air minum belum terjangkau. Namun, kini banyak industri dan hotel justru membangun sumur-sumur bor ilegal untuk memenuhi kebutuhannya.
Belajar dari situasi ini, pengendalian eksploitasi air tanah di DKI Jakarta mendesak diimplementasikan. Jika tidak, jangan heran jika beberapa tahun ke depan air tanah di Ibu Kota ini akan semakin asin. (Aloysius B Kurniawan)
Post Date : 16 Januari 2011
|