Air Tanah Jakarta Tercemar Bakteri

Sumber:Jurnal Nasional - 01 Nopember 2011
Kategori:Air Minum
HASIL riset Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI tahun 2011 menunjukkan, hampir 90 persen air tanah di Jakarta tercemar bakteri E Coli. Tak jauh beda dengan hasil pengawasan tahun 2009 lalu. Karena itu, Pemprov DKI diminta merespons lebih cerdas. Bukan sekadar menekan perusahaan operator air.
 
Masalah ketersediaan air layak konsumsi di Ibu Kota tidak pernah berhenti di satu titik. Keengganan masyarakat untuk beralih menggunakan air PAM menjadi tantangan berat bagi pemprov. Terutama, saat kualitas air tanah di Jabodetabek terus-menerus menurun hingga tak lagi layak konsumsi.
 
Riset terbaru oleh PT Uniliver Indonesia semakin memperkuat fakta bahwa Jakarta tengah dilanda krisis air bersih. Riset terbaru tahun ini menunjukkan, hampir 100 persen dari 300 sampel sumber air tanah yang diambil secara acak di Jabodetabek dan Bandung dalam kondisi tidak layak.
 
"48 persen sampel air tanah ditemukan mengandung coliform, dan 50 persen dari sampling berada pada tingkat keasaman (pH) yang rendah di luar ambang batas wajar," kata Erwin Cahaya Adi, Senior Brand Manager Unilever Pureit, di Jakarta, Senin (31/10).
 
Kepala Dinas Kesehatan Pemprov DKI , dr Dien Emawati, mengatakan, perlu upaya dan biaya cukup besar untuk menyediakan air minum yang aman. Pemerintah tidak mampu menanggung beban biaya itu sendiri. Kerja sama dengan berbagai stakeholder seperti perusahaan-perusahaan swasta yang fokus dalam upaya ketersediaan air minum bersih dan layak konsumsi merupakan salah satu solusi. Sayangnya, baru tiga persen warga Jakarta yang menggunakan jasa perusahaan air PAM. 
 
"Bila mengacu pada standar air minum yang ditetapkan pemerintah, maka baru 24 persen masyarakat di Indonesia yang mendapatkan akses air minum yang aman. Sebagian kecil ada di Jakarta," ujarnya saat membuka seminar Tingkatkan Layanan Kesehatan Masyarakat dengan Penyediaan Air Minum, di Jakarta (27/10).
 
Pemprov telah menjalankan berbagai upaya standar untuk meningkatkan kualitas air tanah sehingga kembali layak dikonsumsi. Antara lain, dengan melakukan perlindungan terhadap sejumlah mata air, penerapan teknologi tepat guna untuk penyehatan air, pembinaan kepada para perusahaan operator air, serta mendorong masyarakat agar menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
 
Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, Dinkes DKI Jakarta, dr IBN Banjar yang dijumpai di acara yang sama mengatakan, tanpa dukungan masyarakat, upaya "menyehatkan" kembali sumber air baku tidak mungkin dilakukan. Kebiasaan membuang sampah atau limbah rumah tangga langsung ke aliran sungai akan memperburuk kualitas air baku.
 
Minim Fasilitas IPAL
 
Saat ini, fasilitas pengelolaan air limbah Jakarta baru terpusat di Setibabudi, Jakarta Selatan. Tentu saja, fasilitas tersebut tidak mampu melayani seluruh air limbah hasil pembuangan warga Jakarta setiap hari. Sementara, kawasan yang terlayani baru mencapai tiga persen, mencakup Kecamatan Setiabudi, Kecamatan Tebet, dan Kecamatan Tanah Abang.
 
Untuk meningkatkan pelayanan, IPAL Setiabudi menaikkan kapasitas pengolahannya dari 400 liter per detik menjadi 800 liter per detik. Upaya tersebut menghabiskan anggaran APBN sebesar Rp78 miliar.
 
Menyadari tingginya kebutuhan fasilitas tersebut, Pemprov DKI dan Departemen Pekerjaan Umum mempercepat rencana pembangunan instalasi pengolahan air limbah terpadu (IPALT) yang sudah disuarakan sejak tahun 2009. Fasilitas tersebut nanti akan dibangun di kawasan Jakarta Utara, dibagi dalam lima zona pengolahan. Target, fasilitas ini dapat melayani berbagai limbah domestik dari 700 ribu jiwa warga Jakarta.
 
Salah satu zona berfungsi sebagai pusat penampungan--disebut zona sentral. Seluruh air limbah yang berasal dari kawasan Setiabudi dan jalan-jalan utama di Jakarta Pusat dialirkan melalui pipa berdiameter 1,8 meter. Lalu, diarahkan ke zona pengolahan selanjutnya di Gajah Mada-Hayam Wuruk dan terpusat di Pluit atau Muara Angke.
 
Setelah air hasil olahan mencapai kadar baku mutu bersih, barulah dapat dibuang ke badan air seperti: sungai dan waduk yang ada di sekitar pusat instalasi. Dengan begitu, perlahan kualitas air baku di Jabodetabek membaik. Nilai proyek tersebut diperkirakan mencapai Rp3,8 triliun. Pemerintah pusat akan menganggarkan dana hingga Rp3,1 triliun, sementara APBD DKI Jakarta mencapai Rp700 miliar.
 
Infeksi Meningkat
 
Dien melaporkan, sepanjang tahun 2010-2011, angka penyakit infeksi yang menggunakan media air di seluruh wilayah Jakarta meningkat. Bahkan, tahun 2010 tercatat 12 angka kematian yang cukup tinggi di Jakarta. "Ini sangat memprihatinkan. Pemerintah terus berupaya agar angka tersebut menurun," katanya.
 
Tahun 2010, Dinas Kesehatan Jakarta mencatat, angka kejadian penyakit infeksi bersumber dari air minum sebanyak 8.455 kasus diare dengan dehidrasi, 11.015 kasus diare tanpa dehidrasi, 10.458 kasus tifus dan 774 kasus hepatitis A. Sementara tahun 2011, tercatat 6.652 kasus diare dengan dehidrasi, 10.286 kasus diare tanpa dehidrasi, 8.217 kasus tifus dan 983 kasus hepatitis A. "Pemerintah akan terus berupaya meningkatkan akses masyarakat terhadap ketersediaan air minum yang aman dan layak konsumsi," ujar Dien. Suci Dian Hayati


Post Date : 01 November 2011