|
Setiap malam, puluhan truk tangki berkapasitas 5.000 liter mengantre di kawasan Ciawi, Cihideung, Cijeruk hingga Caringin, Bogor. Mereka menunggu tabung berbentuk kapsul itu diisi penuh air bawah tanah yang disedot di beberapa tempat di Bogor untuk kemudian dijual ke Jakarta. Air itu dijual ke pemilik toko air baku isi ulang yang marak di mana-mana atau untuk kepentingan air kolam renang pada rumah mewah dan apartemen. Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) beberapa waktu lalu pernah meneliti kualitas air di sejumlah tempat pengisian ulang air bersih dan diketahui air tersebut telah tercemar bakteri yang menyebabkan diare. Penyedotan air tanah besar-besaran terjadi di Desa Cimande Hilir, Kecamatan Caringin. Di sana PT Mayora beroperasi, menyedot air bawah tanah pada tujuh titik dengan luas areal 5 hektare. Tindakan itu membuat warga setempat resah. Mereka khawatir sumur-sumur tradisional warga yang sehari-hari digunakan untuk mandi-cuci dan kakus (MCK) akan kering. Regina dari PT Mayora membantah kalau pengeboran dan penyedotan air bawah tanah itu dilakukan pada tujuh titik. Menurut dia, pihak perusahaan melakukan penyedotan air bawah tambah pada tiga titik dengan kedalaman 130 meter. Penyedotan artesis ini pun mendapat izin resmi dari pemda setempat. Bahkan untuk mengantisipasi sumur milik warga akan kekeringan, pihak perusahaan juga membuat sumur artesis serupa yang diperuntukan masyarakat sekitar pabrik. Air bawah tanah itu pun nantinya akan diproduksi untuk minuman air mineral. Namun, keberadaan PT Mayora yang melakukan penyedotan air bawah tanah di wilayah Bogor Selatan itu, ditentang oleh Kisworo dari Lembaga Keanekaragaman Hayati Indonesia (LKHI). Menurut Kisworo, seharusnya Pemda Kabupaten Bogor perlu mempertimbangkan aspek analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan itu yang melakukan pengambilan air bawah tanah secara besar-besar. "Pemkab Bogor jangan hanya menerima retribusinya saja, tetapi dipikirkan dampak penyedotan air bawah tanah itu sendiri. Air bawah tanah siklusnya hanya dapat terkumpul selama kurun waktu 30- 40 tahun. Kalau air bawah tanah mengalami kekeringan, bagaimana tumbuhan yang ada di permukaan tanah akan tumbuh subur," ujar Kisworo. Di sisi lain, Kisworo menegaskan, selama ini Bogor dituding sebagai penyebab banjir Ibukota Jakarta, sementara green belt (sabuk hijau) yang berada di kawasan selatan Bogor kini mengalami degradasi lingkungan yang kian memprihatinkan. Untuk itu, dia berharap, Pemkab Bogor jangan gegabah memberikan izin penyedotan air bawah tanah mengingat lingkungan di wilayah Bogor kini telah mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Kisworo juga menambahkan, Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451K/MEM/2000 tentang pedoman pemerintah dalam mengelola air bawah tanah sudah seharusnya direvisi mengingat keberadaan wilayah otonomi dan aspek lingkungannya. Jika tidak, krisis air bawah tanah akan menjadi bom waktu yang sangat berdampak pada rakyat kecil. [SP/HR/126] Post Date : 21 April 2008 |