|
Siang masih panas saat amarah Sayogo Hendrosubroto, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, memuncak, Kamis (17/4). Dia melihat air dari lubang fondasi Gedung Departemen Agama yang sedang dibangun di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, dipompa dari dalam tanah dan dialirkan ke sebuah selokan besar di dekatnya. ”Pembuangan air tanah seperti ini tidak boleh dilakukan. Anda harus memasukkan kembali air tanah ke tanah,” kata Sayogo kepada Ikhwandi, pimpinan proyek pembangunan Gedung Depag. Sistem penyedotan sampai kering dan pembuangan air tanah semacam itu sering disebut dengan dewatering. Air tanah sengaja disedot dan dibuang karena mengganggu pembuatan fondasi bangunan. Banyak kontraktor di Jakarta yang melakukan dewatering saat membangun gedung tinggi. Hal itu dilakukan karena lebih murah daripada membuat sumur resapan untuk menyuntikkan kembali air itu ke dalam tanah. Proses semacam itu pasti membuat kawasan sekitarnya kering, meskipun hanya untuk sementara. Kekeringan di kawasan akan berlanjut jika pemilik gedung menyedot air tanah secara berlebihan setiap hari untuk kepentingan konsumsi. Yanti (33), warga Petojo Utara, Jakarta Pusat, mengeluhkan sumurnya sempat kering kerontang akibat pembangunan apartemen, pusat pertokoan, dan perkantoran di sekitarnya. ”Keluarga saya dizalimi. Sejak gedung-gedung tinggi dan bangunan komersial itu dibangun, sumur kami kering. Kami terpaksa membeli air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Yanti, setengah tahun lalu. Kini, setelah musim hujan yang intensif selama 2008, sumur milik Yanti mulai berair kembali. Namun, bukan kelegaan yang didapat melainkan kegundahan. Air sumurnya sekarang keruh dan berbau tidak sedap. Tidak dapat digunakan untuk mencuci, apalagi diminum. Kondisi yang sama juga dialami oleh banyak warga di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. ”Air tanah berwarna keruh, terkadang hitam dan berbau. Untuk mandi saja, kami tidak berani menggunakannya,” kata Linda (37), warga Gang 12 Kebon Sirih Barat, Jakarta Pusat. Warga lebih memilih menggunakan air PAM untuk mandi, memasak, dan minum. Beberapa warga juga membeli air bersih yang dijual oleh pedagang keliling sebagai tambahan untuk mandi, keperluan mengolah makanan dan minuman rumah tangga, dan dagangan mereka. Air tanah hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dari WC umum yang dibangun oleh warga. Warga Jatibaru Tengah, Tanah Abang, Jakarta Pusat, mengalami hal serupa. Saiful (42), mengatakan, air tanah di sekitar tempat tinggalnya berbau dan berwarna kehitaman. ”Saya dan keluarga tidak berani memakainya. Kalau pakai air sanyo (air tanah), badan gatal-gatal,” kata Saiful. Warga Kelurahan Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, merasakan dampak penyedotan air tanah dalam yang mencapai 100-150 meter di bawah permukaan tanah yang dilakukan oleh usaha binatu pencucian blue jeans. Penyedotan itu berakibat air tanah warga menjadi berkurang dan berbau. Kondisi lebih parah terjadi di Kecamatan Senen, Johar Baru, dan Kemayoran, Jakarta Pusat, warga terpaksa hidup dengan air tanah bercampur air laut. Kondisi itu sudah terjadi di Jakarta Utara 20 tahun lalu, dan terus meluas ke Jakarta Pusat ”Sudah sejak belasan tahun lalu warga di Kemayoran dan sekitarnya, termasuk di Senen dan Johar Baru, sulit punya sumber air bersih sendiri. Menggali satu dua meter saja sudah ketemu air, tetapi airnya asin. Untuk air minum tidak bisa, untuk mencuci juga tidak,” kata Sugeng (43). Pakar Hidrologi Universitas Indonesia, Firdaus Ali, menjelaskan, dewatering dan penyedotan air berlebihan oleh pengelola gedung tinggi menciptakan rongga-rongga di dalam tanah. Hal itu menyebabkan permukaan tanah turun dan air laut masuk ke wilayah daratan, dan diperkirakan sudah mencapai sekitar kawasan Monas. Selain itu, kata Firdaus, rongga di dalam tanah juga membuat air yang tercemar masuk ke dalam tanah. Septic tank milik warga yang jumlahnya mencapai puluhan ribu unit turut mencemari air tanah dan membawa bakteri E coli. Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta Pusat, cadangan air tanah di DKI hanya 23 persen dari total curah hujan per tahun. Namun, kapasitas air tanah yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat tidak lebih dari 40 persen. ”Perlu dua langkah untuk memperbaiki atau setidaknya menghentikan pencemaran air tanah. Pertama, penyedotan air tanah besar-besaran harus dihentikan dan digantikan air PAM. Kedua, penyerapan air hujan ke tanah harus diperbesar dengan sumur resapan dan penghijauan,” kata Firdaus. Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni mengatakan, sudah mengetahui kondisi persediaan air tanah yang parah di Jakarta. Saat ini, Pemprov DKI sedang gencar mengembalikan air hujan ke tanah. Pembuatan sumur resapan di gedung tinggi, pembuatan lubang biopori, dan perluasan taman kota sedang digalakkan untuk memperbanyak air masuk ke tanah. (Neli Triana/ Pingkan Elita Dundu) Post Date : 19 April 2008 |