|
KUALITAS air tanah di kota metropolitan Jakarta semakin buruk. Padahal, sampai saat ini sebagian besar rumah tangga di Ibu Kota ini masih mengandalkan air tanah di samping air sungai dan situ sebagai sumber air bersih maupun air minum. Hasil pemantauan yang dilakukan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta terhadap 48 sumur yang tersebar di lima wilayah pada Oktober 2004 menunjukkan, air tanah di Jakarta memiliki kandungan pencemar organik dan anorganik tinggi. Akibatnya, air tanah di wilayah Jakarta tidak sesuai lagi dengan baku mutu peruntukannya, terutama air minum. Hasil klasifikasi indeks pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah menunjukkan, sembilan sumur cemar berat, 18 sumur cemar sedang, 12 sumur cemar ringan, dan sembilan sumur dalam kondisi baik. Wilayah yang mempunyai kualitas air paling jelek adalah Jakarta Utara. Tujuh dari delapan sumur yang dipantau di wilayah ini masuk kategori cemar berat dan sedang. Pada umumnya wilayah ini digunakan untuk kawasan industri dan permukiman padat. Sementara wilayah yang kualitas airnya masih cukup baik adalah Jakarta Selatan yang umumnya digunakan untuk permukiman teratur, yakni permukiman yang pola bangunan serta sarana dan prasarananya teratur. Berdasarkan ketinggian tanah, pada region pertama dari sumur yang dipantau, di antaranya masuk kategori cemar berat, yaitu di kawasan Pademangan, Penjaringan, Cilincing (ketiganya di Jakarta Utara), serta Kemayoran (Jakarta Pusat). Pada region kedua dan ketiga, dari 21 sumur yang dipantau, tiga sumur masuk kategori cemar berat, yaitu Cengkareng dan Kalideres (Jakarta Barat), serta Pulo Gadung (Jakarta Timur). Kawasan- kawasan tersebut merupakan kawasan industri dan permukiman padat. Sedangkan pada region keempat dan kelima, kualitas air tanah mengalami pencemaran ringan dan sedang. Kedua region ini pada umumnya digunakan untuk permukiman teratur dan permukiman padat. Meski demikian, tidak semua permukiman padat selalu mengalami pencemaran. Di Pesanggrahan, misalnya, kualitas airnya masih cukup baik. Dari segi kualitas fisik air tanah, pada umumnya keluhan yang disampaikan pemilik sumur adalah air yang berwarna kuning dan agak berbau. Di Jakarta Barat, dari sembilan sumur yang dipantau, tujuh sumur di antaranya berbau, keruh, berkarat, dan berkapur. Di wilayah Jakarta Selatan dari 12 sumur yang dipantau, tujuh sumur berbau. Di wilayah Jakarta Timur dari 11 sumur yang dipantau, delapan di antaranya berbau, keruh, dan berwarna kuning. Sedangkan di Jakarta Utara terdapat satu sumur di Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, yang kualitasnya jelek, dan dua sumur berbau. Hasil pemantauan juga menunjukkan 67 persen sumur pantau mengandung bakteri coliform dan 58 persen mengandung fecal coli melebihi baku mutu. Bakteri ini biasanya berasal dari air buangan rumah tangga, sungai, atau septic tank. Bakteri penyebab diare, sakit perut, muntah, dan mulas-mulas ini merembes dari permukaan tanah ke dalam air resapan dengan gampang. Sementara itu, hasil analisis kimia dari air tanah menunjukkan jumlah sumur yang melebihi baku mutu mangan (Mn) mencapai 33 persen. Sedangkan persentase sumur yang melebihi baku mutu detergen mencapai 46 persen. Salah satu penyebab pencemaran air tanah di Jakarta adalah penataan instalasi air yang amburadul. Misalnya, pembuatan septic tank yang terlalu dekat dengan air resapan. Padahal, idealnya jarak antara keduanya minimal 10-15 meter. Namun, seperti diketahui, persyaratan seperti itu sangat sulit dipenuhi oleh kawasan permukiman, terutama permukiman padat dan kumuh di kota besar yang berpenduduk sembilan juta ini. Kalau tercemar secara bakteriologis mungkin lebih mudah karena proses alam, cemaran itu lebih gampang terurai. Namun, bila tercemar bahan organik, ceritanya lain lagi. Bahaya yang mengintai juga sangat besar. Cemaran bahan kimia, obat-obatan, atau limbah elektronika akibatnya tidak terasakan saat ini, melainkan butuh waktu cukup lama, paling tidak sekitar 5-10 tahun. (Antonius Purwanto/ Litbang Kompas) Post Date : 20 Juni 2005 |