|
Samarinda, Kompas - Sungai Karang Mumus yang membelah permukiman warga Kota Samarinda, Kalimantan Timur, kini berbau busuk dan airnya berwarna hitam. Sebagian warga di tepian sungai itu sudah tak berani menggunakan air sungai itu untuk mandi dan mencuci karena khawatir terserang penyakit kulit atau diare. Karang Mumus yang membelah permukiman di kawasan timur dan utara kota itu bermuara ke Sungai Mahakam. Di daerah aliran sungai ini bermukim sekitar 241.000 jiwa (42,5 persen) dari total penduduk Samarinda yang sekitar 590.000 jiwa. Sebagian warga di daerah aliran sungai itu sudah mengandalkan air ledeng dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk kebutuhan harian mereka. Namun, sebagian lagi, terutama warga yang tinggal di bantaran sungai, masih menggunakan air Karang Mumus untuk keperluan sehari-hari. Kelompok warga terakhir ini sekarang juga terpaksa membeli air PDAM Kota Samarinda karena mereka sudah tak bisa menggunakan air Sungai Karang Mumus. Berdasarkan pantauan, Senin (21/8), air di sungai itu sudah tidak mengalir dan warnanya yang hitam membuat permukaan sungai mirip cermin. Meskipun airnya berbau busuk dan berwarna hitam, masih ada saja warga yang menggunakan badan Sungai Karang Mumus untuk buang hajat dan mencuci kaki. Sebagian warga lainnya tidak berani karena khawatir terserang gatal-gatal dan diare. "Pengalaman saya ketika memakai air sungai itu ternyata gatal-gatal," ujar Erlisa, warga setempat. Untuk mandi dan mencuci, warga membeli air bersih seharga Rp 3.000 per drum (200 liter). Jumlah itu cukup untuk mandi, mencuci, dan memasak selama satu hari. Sejumlah warga menyatakan tidak akan menggunakan air Karang Mumus selama masih hitam dan berbau busuk. Air Karang Mumus baru akan dimanfaatkan lagi jika sudah kembali berwarna coklat dan tidak berbau busuk. Kondisi itu akan terjadi jika nanti ada hujan deras di hulu sungai. Mislan, Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Air Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman Samarinda, menyatakan, air sungai berwarna hitam dan berbau busuk karena sudah sangat tercemar limbah. Limbah itu berasal dari buangan rumah tangga warga dan beberapa pasar di tepi sungai. Warna hitam dan bau busuk muncul akibat proses kimia dari limbah. Pada musim kemarau ini, air sungai nyaris tidak mengalir karena tak ada pasokan air dari hulu yang mampu membawa air sungai bercampur limbah ke muara (Sungai Mahakam). "Unsur-unsur kimia yang terkandung pada limbah itu yang berproses dan mengubah warna menjadi hitam sekaligus bau yang tidak sedap," kata Mislan. Agar air kembali netral, perlu pasokan air baru dari hulu sungai. Masih layak olah Kepala Seksi Humas PDAM Samarinda Syarif Rahman Hakim mengatakan, sejauh ini belum terjadi intrusi air laut ke Sungai Mahakam. Kualitas air sungai yang melintasi Samarinda itu masih layak diolah untuk air minum. Pada musim kemarau panjang, intrusi air laut biasanya berdampak pada naiknya kadar garam pada air Mahakam sehingga tidak bisa diolah untuk air minum. Kadar garam bisa mencapai 2.000 bagian per sejuta (ppm) ketika intrusi terjadi. Ambang batas kadar garam yang diperkenankan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) maksimal 250 ppm. Syarif mengatakan, kadar garam air Mahakam di Instalasi Pengolahan Air Palaran kini tercatat 5 ppm. (BRO) Post Date : 22 Agustus 2006 |