Nicodemus Suemu (31) ingat betul, 10 tahun silam, air sumur di belakang rumah orangtuanya di Kelurahan Maro, Merauke, Papua, masih tawar. Kini, sumur sedalam sekitar tiga meter tersebut, airnya berubah asin.
Nicodemus dan keluarganya pun tidak lagi menimba air dari sumur berdiameter sekitar satu meter itu untuk minum dan memasak. Meskipun tetap jernih dan tidak berbau, air sumur itu hanya dimanfaatkan untuk keperluan mandi dan mencuci. Sumur itu berjarak sekitar lima meter dari dapur.
”Sekarang, untuk memasak makanan dan air minum, kami tadah air hujan. Kami buat bak beton untuk tampung air hujan. Dari atap terus langsung disalurkan ke bak,” ujar Nicodemus sambil menunjukkan bak penampung air hujan yang berada di samping rumahnya, Sabtu (9/7).
Bak penampung air hujan dibuat sendiri pada tahun 2003. Ukuran bak relatif luas, sekitar 2 x 2,5 meter dengan kedalaman 3 meter. Bagian atas bak ditutup seng agar tidak kemasukan aneka kotoran, seperti daun-daun kering dan debu agar tidak menjadi sarang nyamuk. Air dalam bak itu kalah jernih dibandingkan dengan air sumur.
Sejak dimanfaatkan pertama kali, bak tadah hujan memang sama sekali tidak pernah dikuras dan dibersihkan. ”Air di bak tak pernah kering karena diambil sedikit saja untuk masak dan minum,” tutur Nicodemus.
Keluarganya membuat bak penampung air hujan itu karena tidak mampu berlangganan air bersih dari perusahaan air minum setempat. Kalau ingin berlangganan, ia harus membayar pemasangan sambungan sebesar Rp 2 juta. Belum lagi membayar tagihan pemakaian air bulanan. ”Pakai air hujan saja sudah cukup,” ujar Nicodemus, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar pemotong kayu dengan penghasilan tidak tetap Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan.
Tidak hanya keluarga Nicodemus, warga di Kampung Gudang Arang, misalnya, juga menadah air hujan. Sebagian warga lain di kampung itu cukup beruntung karena ada beberapa fasilitas bak umum penampungan air bersih.
Bagi warga yang lebih mampu, mereka membeli air bersih dari penjual keliling dan membeli air minum galon. Rahman (35), warga Kampung Seringgu, menuturkan, untuk minum membeli air Rp 8.000 per galon. Adapun untuk memasak dibeli dari penjual air keliling seharga Rp 30.000 per gerobak berisi 15 jeriken ukuran 20 liter.
Penjual keliling
Ada sekitar 300 orang penjual air keliling di Merauke. Mereka seperti pahlawan bagi warga, terutama saat kemarau. Setiap hari mereka menimba air dari sumur-sumur tua peninggalan Belanda yang ada di pinggir Jalan Mandala, jalan utama kota Merauke. ”Kalau kemarau kami harus antre ambil air karena banyak yang pesan. Sehari bisa jual sampai enam gerobak” tutur Amir (52), penjual air keliling.
Air bersih menjadi persoalan pelik yang harus dihadapi sebagian warga kota Merauke sehari-hari. Air laut semakin jauh menyusup ke daratan. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang beruntung masih memiliki sumur berair tawar. World Wildlife Fund (WWF) mencatat, pada Mei 2005, dari 2.113 kilometer persegi luas wilayah Distrik Merauke, 81,7 persen di antaranya berair payau dan 18,3 persen yang berair tawar.
”Sekarang, kemungkinan luas daratan yang masih berair tawar makin berkurang karena tekanan rembesan air laut makin kuat,” kata Marthinus C Wattimena, Koordinator WWF Wilayah Merauke, Mappi, dan Asmat
Penyebabnya, di antaranya pengambilan air tanah yang meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Di sisi lain, daerah resapan air, seperti rawa-rawa, sawah, dan daerah terbuka hijau terus menyusut terdesak pembangunan infrastruktur jalan, perumahan, pertokoan, dan perkantoran.
Aktivitas penambangan pasir ilegal di kawasan pantai juga mempercepat laju peresapan air laut ke daratan. Penambangan pasir mengakibatkan abrasi sehingga memudahkan air laut ke darat. WWF mencatat, dalam 12 tahun terakhir pantai Merauke mundur sejauh 10 meter.
Sebanyak 3.099 rumah tangga dari 18.048 rumah tangga di Merauke kini menggantungkan pemenuhan air bersih dari perusahaan air minum daerah, PT Wedu Merauke. Air bersih disedot dari Rawa Biru di kawasan Taman Nasional (TN) Wasur, 60 liter per detik. Kapasitas itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh pelanggan sehingga dialirkan bergilir dua hari sekali. Jarak Rawa Biru dari kota Merauke yang mencapai 62 kilometer, menjadi salah satu kendala untuk memenuhi kebutuhan air warga.
Persoalan bertambah ruwet karena Rawa Biru sebagai sumber utama air bersih mengalami penyempitan. Balai TN Wasur Merauke mencatat, pada 2003 luas badan air aktual rawa itu 113 hektar. Pada 2006, luas badan air aktual susut menjadi 95 hektar. Kondisi ini memicu invasi berbagai tumbuhan air, seperti tebu rawa dan rumput pisau. ”Rawa Biru itu tidak memiliki mata air, tapi hanya menampung air. Ke depan, Merauke tidak bisa menggantungkan seratus persen suplai air bersih dari Rawa Biru,” ucap Kepala Balai TN Wasur Merauke Dadang Suganda.
Kini, Pemkab Merauke dan PT Wedu Merauke menugaskan tim ahli melakukan studi komparasi mencari sumber air alternatif. ”Dengan masuknya investasi melalui program Merauke Integrated Food Estate and Energy, jumlah penduduk akan meningkat cepat, kebutuhan air bersih juga naik,” ucap Markus Ricky Teurupun, Asisten III Setda Merauke. Ancaman krisis air bersih kian nyata di depan mata.(Erwin Edhi Prasetya)
Post Date : 08 September 2011
|