|
SOLO - Lebih dari 20 persen air sumur di Kota Solo mengandung bakteri dan tidak layak dikonsumsi. Dari lima kecamatan di Solo, paling tinggi kandungan bakterinya adalah air sumur di Kecamatan Jebres. Kadar kandungan bakterinya diperkirakan mencapai 28 persen. Menurut Kasubdin Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo Sri Kuswandari SKM, penyebab utama bakteri dalam air sumur penduduk akibat terlalu dekatnya jarak antara sumber air dengan tempat pembuangan kotoran manusia. Sementara dengan maraknya industri, tidak berpengaruh pada kandungan bakteri, namun berpengaruh pada kandungan kimia. "Selama ini, kami belum bisa meneliti untuk kandungan kimia air sumur penduduk. Sebab, terbentur masalah biaya. Yang bisa kami lakukan baru meneliti kandungan bakteri. Dan hasilnya, 21 persen air sumur penduduk tidak layak untuk dikonsumsi," ujar Kuswandari di kantor Badan Informasi dan Komunikasi (BIK) Pemkot Solo, kemarin. Penelitian kandungan bakteri sumur penduduk dilakukan rutin setiap tahun dengan mengambil sampel air sumur penduduk. "Untuk hasil tersebut, DKK telah meneliti 930 air sumur penduduk yang ada di 15 kelurahan dan lima kecamatan. Ternyata 21 persen air sumur tidak layak untuk dikonsumsi," jelasnya. Meski termasuk tinggi kandungan bakterinya, namun tidak begitu membahayakan. Sebab, menurut pengakuan masyarakat, air sumur tersebut kebanyakan hanya digunakan untuk mandi dan cuci. Sedang untuk kebutuhan air minum dan memasak masyarakat lebih mengandalkan air dari PDAM atau air mineral. "Tapi ada juga yang digunakan untuk air minum. Kalau kita tahu seperti itu biasanya terus diberi stimulan untuk memindahkan sumber air agar jaraknya lebih jauh dari tempat pembuangan kotoran manusia," lanjutnya. Sebelumnya, Kepala Bagian Produksi PDAM Solo Singgih Tri Wibowo mengatakan, secara teknis seluruh air bisa diolah menjadi air baku, termasuk air permukaan dari sungai dan waduk yang saat ini sedang dikaji oleh PDAM. Hanya saja, yang menjadi persoalan, apakah dengan pengolahan air tersebut sesuai dengan daya beli masyarakat. "Kalau dengan diolah harganya menjadi mahal dan tidak terjangkau masyarakat maka tidak akan ada gunanya. Semakin tinggi kadar pulutan akan semakin mahal biaya pengolahan," katanya. Dari hasil kajian sementara, untuk pengolahan air permukaan setiap M3 air, memerlukan biaya produksi mencapai sekitar Rp 1.200. Untuk saat ini kapasitas yang mampu dipasok PDAM baru 50 m3/detik. Jumlah itu sangat kurang jika dibandingkan kebutuhan masyarakat. "Jika rencana mengolah air permukaan terealisasi, diperkirakan akan bisa memproduksi 100M3/detik. Langkah ini akan sangat membantu pelayanan kebutuhan air pada masyarakat," jelasnya. (eti) Post Date : 15 Juni 2005 |