Air Selokan pun untuk Kebutuhan Sehari-hari

Sumber:Pikiran Rakyat - 23 Desember 2007
Kategori:Air Minum
BAGI Ny. Udis, musim hujan atau musim kemarau tidak ada bedanya. Dia tetap harus menggunakan air kotor dari selokan yang mengalir di depan rumahnya untuk kebutuhan sehari-hari. Jika hujan cukup deras, dia beruntung karena bisa menyalurkan air hujan itu ke bak penampungan miliknya.

Kondisi itu sudah dia alami sejak belasan tahun lalu. Bukan hanya Ny. Udis, sebagian besar warga Kel. Sindangjaya, Kec. Mekarmanik Kota Bandung juga memanfaatkan air hujan. Hingga tahun lalu, setidaknya 40 persen warga Sindangjaya masih menggunakan air kotor dari selokan atau air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Kondisi itu tidak berubah hingga saat ini.

"Sudah melapor ke mana-mana, tapi tetap saja tidak ada perubahan. Kami tetap harus menggunakan air selokan untuk kebutuhan sehari-hari," kata Ny. Udis, Senin (17/12).

Agar cukup aman untuk digunakan, air selokan itu "diolah" lebih dulu. Pertama, air tersebut dialirkan ke dalam bak-bak penampungan air atau sumur yang mereka bangun di rumah masing-masing. Setelah ditampung, air kental berwarna kehitaman itu diberi tawas agar lebih jernih, kemudian didiamkan untuk beberapa malam. Setelah agak jernih, air itu dipindahkan ke bak penampungan air bersih, dan siap untuk digunakan.

Sejujurnya, Ny. Udis dan para tetangganya merasa jijik harus menggunakan air selokan untuk mandi dan mencuci pakaian. Tapi mereka tidak memiliki pilihan lain, sebab pemerintah tidak juga menyediakan fasilitas air bersih di lingkungan mereka.

"Kalau untuk minum, kita masih bisa menggunakan air sumur. Air dari sumur itu pun merupakan resapan dari air selokan, yang terlebih dulu disaring oleh (lapisan) tanah kebun tetangga saya," kata Ny. Udis.

Jika musim kemarau tiba, kesulitan warga akan bertambah lagi. Mereka harus berjuang, bahkan tak jarang harus beradu otot, untuk mendapatkan air selokan yang kotor itu.

Seperti dituturkan oleh Mulyana, warga Sindangjaya, yang biasa ditugasi untuk "menggiring" air selokan dari wilayah Sindanglaya, Kab. Bandung.

Menurut Mulyana, dia bersama beberapa orang warga akan mencari air hingga berkilo-kilometer ke arah perbukitan, yang termasuk wilayah Kab. Bandung. Mereka akan mengalihkan air yang mengalir di saluran-saluran pembuangan, yang juga berfungsi mengairi sawah dan kebun warga setempat.

"Kalau sampai kepergok warga di daerah atas, ujung-ujungnya bisa sampai berkelahi," kata Mulyana.

Di lingkungan Sindangjaya sendiri, untuk mendapatkan air selokan itu harus bergiliran. Oleh karena itu dibentuk lembaga Mitra Cai, yang bertugas mengatur jadwal mengalirkan air selokan. Setiap RT memiliki jadwal menampung air dua kali dalam seminggu.

Menurut Udis, Mulyana, dan warga lain, air bersih yang mengalir ke daerahnya mulai berhenti sejak belasan tahun lalu. Mata air di wilayah hulu banyak yang mengering dan banyak yang tiba-tiba menjadi milik pribadi.

Di daerah mata air, seperti di Sindanglaya dan sekitarnya, kini beroperasi beberapa pengusaha air bersih yang menjual air ke pengusaha tangki atau ke terminal air di wilayah Kota Bandung dan sekitarnya.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan sejak November 2006 hingga September 2007, air yang diambil dan dijual oleh para pengusaha itu mencapai ratusan ribu liter per hari dan mencapai 3-4 juta liter air per bulan. Air sebanyak itu hanya diambil dari mata air-mata air yang berada di sekitar Sindangjaya dan Sindanglaya saja. Omzet total yang diperoleh para pengusaha air itu pun mencapai ratusan juta rupiah per bulan

Ironisnya, warga di sekitar mata air, dan warga yang dulu menikmati air alam secara gratis, tiba-tiba kehilangan haknya untuk memperoleh air bersih itu. Kini mereka harus menggunakan air selokan yang kotor dan berbau untuk kehidupan sehari-hari. (Zaky Yamani/"PR")



Post Date : 23 Desember 2007