Air Salah Urus, Banjir Ada Terus

Sumber:Kompas - 11 Februari 2008
Kategori:Banjir di Jakarta
Banjir menjadi masalah yang kian sulit tertangani di Jakarta. Persoalannya bukan hanya karena luapan air sungai itu, tetapi juga disumbang perilaku warga yang tak ramah lingkungan, pengelolaan air yang kurang becus, ditambah intensitas hujan yang melonjak.

Serbuan dan kepungan air di Ibu Kota Negeri ini terjadi secara alami setiap musim hujan. Itu terjadi sejak dulu di Betawi yang dilewati 13 sungai. Menghadapi ancaman lumpuhnya aktivitas di pusat kekuasaan ini akibat luapan air sungai, sistem pengendalian banjir telah dirancang sejak zaman Kolonial Belanda.

Saluran pengendalian banjir dibangun di sekitar Kota pada abad ke-18 oleh pemerintahan Jan Pieterszoon Coen yang berkuasa pada 1619-1629. Untuk mengatasi pasang air laut, pihak kolonial pada awal abad ke-19 membangun saluran Ancol yang masih ada hingga kini. Pembangunan Banjir Kanal Barat baru dibangun tahun 1920-an oleh Prof Herman Van Breen ketika menjabat Wakil Gubernur Batavia.

Pada masa kemerdekaan, persoalan bencana ini belum juga terselesaikan, meskipun Presiden Soekarno pada tahun 1965 mencanangkan Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta. Sedangkan pada zaman Orde Baru dibuat dua rencana besar, yaitu Master Plan Pengendalian Banjir Jakarta oleh Nedeco Belanda (1973) dan Master Plan yang mencakup Jabodetabek ditangani JICA (Japan International Cooperation Agency).

Dua master plan itu mencakup pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) dan penyelesaian Banjir Kanal Barat (BKB) serta pemasangan pompa-pompa air di daerah rendah.

Perencanaan yang dilakukan 34 tahun lalu itu belum juga terwujud seluruhnya, terutama pembangunan BKT yang akan memotong dan mengendalikan aliran Sungai Cideng, Mampang, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Pembangunan BKT terhenti karena kendala pembebasan tanah.

Pembebasan lahan seluas 253,8 hektar untuk jalur kanal timur sepanjang 23,5 kilometer masih mencapai 66 persen. Sedangkan kanal yang terbangun baru 7,7 kilometer, ujar Kepala Seksi Perencanaan Teknis Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Anggia Satrini.

Sementara proyek pengendalian banjir berjalan merambat, alih fungsi lahan di hulu dan hilir berlari. Berkurangnya daerah tangkapan air di hulu karena berkurangnya vegetasi, ungkap Budi Santosa, Kepala Subdirektorat Perencanaan Teknis Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen PU, terlihat pada peningkatan debit air dari daerah hulu.

Sementara itu, hingga kini kapasitas alur air di BKB baru 80 persen terbangun. Pada perencanaan awal tahun 1973, alur di BKB direncanakan untuk debit 370 meterkubik per detik (m). Namun, penelitian tahun 1997 sudah mencapai 570 m

Tingginya material yang tererosi di hulu berdampak munculnya sedimen di dasar sungai. Akibatnya, alur sungai semakin dangkal dan sempit sehingga tidak mampu mengalirkan debit. Upaya memperbesar kapasitas alur yang telah dilakukan pemerintah belum menjangkau seluruh sungai.

Bila ditelusuri, pertambahan penduduklah yang menjadi pangkal penyebab. Urbanisasi menyebabkan jumlah populasi di Jakarta dan sekitarnya meningkat tajam. Inilah yang memberi dampak pada perubahan tata guna lahan, yang semula sebagai daerah resapan air berubah fungsi menjadi kawasan permukiman dan industri.

Tampungan alam berupa situ dulu banyak ditemukan di sekitar Serpong, Pamulang, Cinere, Depok, Pondok Gede, dan Cilangkap. Namun, situ-situ ini telah hilang dan berganti menjadi daerah perumahan. Bahkan di wilayah antara Depok dan Bogor telah terjadi perubahan tata guna lahan yang sangat masif dan cepat.

Perubahan-perubahan ini mengakibatkan pembesaran debit banjir karena semakin banyak aliran hujan yang mengalir di permukaan tanah sebab tidak dapat diserap tanah. Sementara itu, kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kelestarian lingkungan mendorong memburuknya kondisi sumber daya air.

Sistem drainase

Penyebab banjir di Jakarta dan kawasan Bodetabek umumnya memang karena bertambahnya aliran banjir dari hulu, serta adanya gangguan pada sistem drainase dan kurang lancarnya aliran ke laut karena masuknya sampah dan sedimentasi ke badan sungai.

Sebagai wilayah yang berbatasan dengan laut, wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi didominasi dataran rendah yang cukup luas. Di Jakarta ada sekitar 40 persen luas wilayah yang tergolong dataran rendah. Di dataran rendah ini alur sungai umumnya bertanggul baik secara alami maupun buatan. Karena itu, air hujan di banyak wilayah Jakarta sendiri tidak dapat mengalir secara bebas ke laut karena permukaannya lebih rendah dari permukaan air sungai sehingga perlu dipompa ke sungai.

Di wilayah DKI Jakarta ada lebih dari 30 pompa untuk tujuan ini. Namun, pompa ini tidak dapat berfungsi ketika banjir karena rusak atau tergenang banjir. Budi mengatakan, aliran menuju pompa juga kerap terhalang sampah atau sedimen sehingga tidak mampu menarik genangan dan memompanya ke sungai. Karena itu, peranan sistem pompa perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat, ujarnya menambahkan.

Sistem drainase lokal juga banyak terganggu oleh penurunan muka tanah. Penurunan terjadi karena pengambilan air tanah yang berlebihan dan terus-menerus. Muka tanah yang turun memperberat upaya drainase lokal wilayah Jakarta. Karena itu, pengambilan air tanah perlu dikurangi secara bertahap dengan membuat pasokan air minum melalui sistem pipa.

Faktor lain

Perilaku yang tidak ramah lingkungan, seperti membuang sampah di sungai, menimbulkan ancaman banjir yang lebih besar, akibat pembangunan rumah yang menjorok ke alur sungai dan pemasangan trashrack penangkap sampah yang melintang di badan sungai.

Pemasangan instalasi trashrack yang bernilai hingga Rp 10 miliar antara lain dilakukan di Kali Sekretaris, Sunter, dan Kali Grogol. Menurut Budi, pihak Departemen PU sesungguhnya telah menyatakan sistem itu tidak layak dibangun di sungai. Karena ketika terjadi banjir, aliran sungai yang membawa material sampah justru akan mengubah sistem penangkap sampah itu menjadi bendungan sehingga menimbulkan banjir ke wilayah sekitarnya.

Trashrack hanya cocok dipasang di waduk yang airnya tidak mengalir, ujarnya menambahkan. Proyek semacam ini di Pulau Bali ditentang masyarakat yang lalu membongkar paksa instalasi itu.

Air pasang

Ancaman banjir di hulu ini belum cukup mengingat adanya kenaikan muka air laut akibat mencairnya es di kutub akibat pemanasan global. Menurut studi yang dilakukan Delft Hydaulics dan Departemen PU di pantura Jakarta tahun lalu kenaikan muka air laut sejak tahun 1989-2025 akan mencapai 15 sentimeter, jelas Anggia.

Karena itu, menurut Budi, perlu dipikirkan adanya saluran transversal di wilayah yang dekat dengan laut membentang arah timur-barat, seperti Kali Ancol yang telah ada saat ini. Saluran ini menghubungkan sungai-sungai yang mengalir ke utara untuk menangkap aliran banjir. Air sungai ini kemudian dipompa ke laut.

Untuk itu diperlukan adanya pompa-pompa dan pintu-pintu pasang (tidal gate). Jika air laut pasang, pintu-pintu ditutup dan pompa bekerja memompa air ke laut. Jika air laut surut, pintu-pintu dibuka dan air banjir mengalir secara bebas.

Pembuatan saluran transversal lengkap dengan pintu dan pompa tentu memerlukan biaya yang mahal, untuk itulah dulu muncul konsep reklamasi pantura. Reklamasi pantura sesuai awal kemunculannya pada tahun 1985 dimaksudkan untuk membangkitkan dana guna menata lingkungan pantai Jabodetabek menjadi lebih baik.

Daerah reklamasi yang berorientasi bisnis masa depan itu dibuat terpisah dari daratan dengan saluran besar dan berbentuk pulau-pulau. Jika itu direncanakan dan dilaksanakan dengan benar, justru akan memperlancar aliran banjir ke laut. Karena kekurangpahaman berbagai kalangan, termasuk instansi pemerintah sendiri, pelaksanaan reklamasi pantura menjadi semakin tak jelas dan menjadi wacana yang membingungkan masyarakat, urai Budi. Yuni Ikawati



Post Date : 11 Februari 2008