KERUHNYA air yang mengalir di Sungai Rangkui tidak dihi raukan Yudi, 11. Bersama Faisal, Iwan, dan sejumlah teman sebaya mereka, ia terjun di sungai yang membelah Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung, dua pekan lalu.
Jembatan penyeberangan yang patah di tengah sungai menambah asyik acara mandi air keruh sore itu. Mereka naik turun jembatan, dan memamerkan sedikit gerakan akrobat ketika terjun ke sungai. "Ah, biarin gatal-gatal. Yang penting kita bisa main dan mandi di sungai," kata Yudi.
Anak-anak ini sejak kecil memang sudah dicekoki nostalgia orang tua mereka, bahwa Sungai Rangkui dulu sangat jernih. Untuk mandi, mencuci, bahkan memasak pun, air diambil dari sungai ini.
Rusman Wijayadi adalah salah satu warga yang sempat merasakan detik-detik akhir jernihnya Sungai Rangkui. Karena airnya jernih dan tidak tercemar, ikan dan udang pun mudah sekali dijumpai di sungai ini.
Ia menyatakan, tanda-tanda akan pudarnya Sungai Rangkui mulai terjadi pada 1986, setelah banjir besar melanda daerah ini. Sungai benar-benar hancur, mulai 1999.
"Jangankan untuk mandi, untuk cuci tangan pun menjijikkan. Air cokelat bagaikan kopi susu, ditambah bau yang tak sedap," tandasnya.
Saat manusia dewasa meninggalkan sungai, ikan dan udang pun tak ingin mendekatinya. Hanya anak-anak yang masih mengakrabi sungai.
Rusman dan ribuan warga Pangkalpinang yakin rusaknya Rangkui disebabkan aktivitas penambangan pasir timah yang kian hari semakin merajalela, di hulu sungai. Air bercampur lumpur yang dihasilkan proses penambangan timah dibuang begitu saja, langsung ke aliran sungai.
Belasan tahun, di hulu, banyak sekali penambangan pasir timah inkonvensional. Beberapa kali warga berupaya menghentikan aktivitas itu. Hanya mampu menghentikan sebentar, tapi jalan lagi ketika warga lengah.
Untungnya, setahun terakhir, aktivitas itu sudah bisa dihentikan. Tapi, itu sudah terlambat. Air sungai tetap keruh, tidak bisa jernih lagi, seperti belasan tahun lalu. Belum ada upaya rehabilitasi Sungai Rangkui. Pemerintah masih membiarkan sungai membawa air yang tercemar.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pangkalpinang Bani Baehaki mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan badan yang dipimpinnya, air di Sungai Rangkui tidak layak untuk mandi dan dikonsumsi masyarakat. "Air sungai rusak akibat aktivitas penambangan di hulu sungai. Air baku yang sering dimanfaatkan masyarakat menjadi keruh, berminyak, dan menimbulkan bau tidak sedap," ujarnya.
Sampah warga Kekeruhan air semakin pekat karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga sungai. Tidak sedikit warga yang membuang sampah rumah tangga ke sungai.
Indonesia mengenal tiga klasifikasi air dari sudut kegunaannya. Pertama, air bersih yang bisa dipakai untuk mandi, mencuci, dan minum. Air kelas dua hanya bisa untuk pertanian, sedangkan ketiga untuk industri.
"Hasil penelitian BLH, air sungai di Pangkalpinang hanya cocok untuk pertanian dan industri. Air Rangkui tidak layak untuk mencuci, mandi, dan minum, karena mengandung bakteri dan racun," tandas Bani Baehaki. Ia sepakat kegiatan penambangan di hulu sungai dihentikan sampai kapan pun.
Warga pun harus sepakat menjaga sungai. Pembuangan sampah rumah tangga langsung ke sungai juga sudah harus ditinggalkan.
Karena air sungai tidak bisa dimanfaatkan lagi, warga pun melirik air tanah di daratan. Besi bor pun dihunjamkan ke bumi untuk mengalirkan air ke permukaan. Biayanya cukup besar, mencapai Rp10 juta per sumur bor. Hanya beberapa orang yang mampu membuatnya.
Sebagian warga yang tidak memiliki dana cukup, akhirnya memilih patungan. Mereka membangun sumur bor umum, yang bisa dimanfaatkan untuk lingkungan. Warga pun harus rela antre.
Cara lain, adalah membuat sumur biasa dengan kedalaman sekitar 2 meter, tidak jauh dari sungai. Air Rangkui pun meresap masuk ke sumur. Air yang dihasilkan lebih baik daripada yang mengalir langsung di sungai.
Soal rehabilitasi Rangkui, pihak-pihak terkait memang belum menemukan kata sepakat. Pemerintah Kota Pangkalpinang, misalnya, tidak bisa berbuat banyak dengan sungai yang panjangnya mencapai 7 kilometer dengan lebar ratarata 6 meter itu. Alasannya, ada dua kabupaten lain yang juga dialiri Sungai Rangkui, yakni Bangka Tengah dan Bangka Induk.
"Pembenahan Rangkui sebaiknya dilakukan pemerintah provinsi, karena menyangkut kepentingan tiga kabupaten dan kota," tambah Bani.
Gubernur Bangka Belitung Eko Maulana Ali tidak menolak untuk mengurus Rangkui. Ia mengakui pembenahan sungai itu adalah masalah bersama Kabupaten Bangka, Kota Pangkalpinang, dan Kabupaten Bangka Tengah.
"Kalau mereka belum melimpahkan dan memercayakan masalah itu ke pemerintah provinsi, saya belum bisa bertindak dan campur tangan," tandasnya. Sampai saat ini, baru Wali Kota Pangkalpinang yang menyerahkan rehabilitasi Rangkui ke gubernur.
Bisakah Sungai Rangkui seperti dulu lagi? Jernih, penuh ikan dan udang, serta bisa menjadi tempat bermain yang sehat bagi anak-anak? Eko tidak terlalu optimistis.
"Sulit sekali. Tapi, saya akan menempuh berbagai cara untuk memperbaiki kondisi sungai. Paling tidak bisa lebih baik daripada yang terjadi sekarang."
Yudi dan kawan-kawan tidak bisa meninggalkan sungai. Mereka menanti bisa bermain di air, tanpa merasakan gatal di kulit lagi. RENDY FERDIANSYAH
Post Date : 12 Mei 2011
|