|
Sejak tahun 2002, bagi Sumartono (34), tidur nyenyak adalah sesuatu yang istimewa. Air yang dulu melimpah mengairi sawah, kini menciutkan hati para petani di Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Akar persoalan yang dituding Sumartono dan para warga di sana adalah beroperasinya produsen air kemasan yang mengebor air tanah tepat di tengah-tengah lima sumber air (embung) di desa itu. Maka airpun mengalir ke pipa-pipa yang dipasang perusahaan. Ketika air kemasan setengah liter di hotel dipatok Rp 20.000, sumur-sumur warga desa Kwarasan setiap musim kemarau tiba dihantui kekeringan. Bukan hanya sumur yang mengering, para petani kini harus merogoh kantung dalam-dalam untuk membeli pompa air tanah berikut solar. Untuk satu jam beroperasi, biayanya Rp 5.000. Hanya dengan itu mereka bisa menuai padi di musim panen. Namun, menjamurnya pompa air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sawah, membuat sumur-sumur warga desa terus menyurut. Ironisnya, pemerintah daerahlah yang menganjurkan solusi penggunaan pompa gara-gara air tanah banyak disedot perusahaan swasta. Direktur Jenderal Sumber Daya Air (Dirjen SDA) Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengakui, kehadiran perusahaan itu memang mengacaukan irigasi di desa Kwarasan. Dengan izin debit 22 liter per detik, jumlah air yang disedot per detiknya 80 liter. Mantan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno mengatakan, manajemen perusahaan itu memang telah melakukan pelanggaran serius dalam pengelolaan sumber daya air di Klaten. "setiap perusahaan swasta dilarang semaunya mengkavling sumber air. Pemerintah harus segera mengoreksi agar kasus serupa tak terulang lagi," katanya. Inilah era di mana pengelolaan air masyarakat "dicemari" investasi swasta yang orientasinya adalah profit. DI Jakarta, persoalan air hingga kini tidak juga terpecahkan. Sebagian besar warga Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, sejak tahun 2002 lalu tak bisa lagi mandi sepuasnya. Untuk sepikul air setara dengan 20 liter, mereka harus membayar Rp 1.000. Setiap keluarga rata-rata butuh 7-10 pikul air setiap harinya. Bagi Sandi (60), yang mantan buruh pikul di pelabuhan Sunda Kelapa, uang sebanyak itu sangatlah memberatkan. Kakek delapan cucu yang asli Cilacap itu terkadang tidak membeli air. "Tidak mandi tidak apa. Yang penting ada air buat minum sama masak,"kata dia. Kakek yang tidak lagi bisa mengangkat beban berat itu, kesulitan memperoleh air terjadi sekitar dua tahun lalu. Air di rumah-rumah warga yang berimpitan itu hanya keluar satu minggu dalam setahun. Sumiati Ismail (40), punya kisah lain. Sejak air dikelola PAM Lyonnaise Jaya (Palyja)-sebelumnya dikelola PAM Jaya- air sering bermasalah. Dulu air mengucur deras dari kran bak mandinya. Kini, hanya desis udara yang keluar sementara meteran air terus berjalan. Padahal, di rumahnya di RT IX/RW 17 kawasan Marlina, Pasar Ikan, Penjaringan, lima anaknya berkumpul jadi satu. Setiap hari ia harus membeli air sepuluh pikul seharga Rp 10.000. "Kalau kagak ada uang, pagi mandi sore kagak," kata pedagang kaki lima itu. Pernah warga mendatangi Palyja, hasilnya air mengalir beberapa waktu namun akhirnya mampet lagi hingga sekarang. Dalam kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi dalam perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan SDA, ia membawa air hujan dalam botol air mineral setengah liter. Ia mengatakan bahwa dengan air hujan yang dikumpulkan dari talang itulah mereka mandi. "Saya sedih karena kadang untuk wudhu pun tidak ada air," kata dia. Nursiah (26), warga RT 16 RW 17 Penjaringan, Jakarta Utara, dua tahun lalu membayar Rp 10.000-12.000 ke Palyja. Dua tahun pula ia tidak menerima aliran air yang sebelumnya mengalir pelan pada tengah malam. "Pernah diajak protes, tapi malas," kata dia sambil menggendong anaknya. Anehnya, di deretan rumah di seberang rumahnya yang hanya terpisah jalan raya, air mengalir dengan deras. Air itulah yang kemudian ditampung para penjual air untuk diedarkan. Ia menduga hal itu terjadi karena di seberang itu berdiri perusahaan-perusahaan swasta. BERTEPATAN dengan Hari Air Sedunia ke-13, 23 Maret 2005 ini, ternyata masih banyak warga yang tidak mendapatkan haknya akan air bersih. Direktur Tehnik PAM Jaya Kris Tetuko pernah mengungkapkan bahwa sumber air tanah dalam di Jakarta sudah tidak layak dijadikan alternatif sumber air baku, baik secara kuantitsas maupun kualitas. Sekitar 50 persen air tanah telah tercemar bakteri E Coli dan deterjen yang berbahaya bagi kesehatan. Ia pun menyebut target tahun 2022 seratus persen warga Jakarta terlayani air pipa sangat tidak realistis. Tahun 2020 pun, secara rasional kemungkinan baru terlayani 80 persen. Fakta adanya pencemaran, lahan kritis, daya dukung lingkungan yang rusak di Jakarta adalah potret nasional. Menurut data Sub Direktorat Konservasi SDA Departemen PU, lahan kritis di luar hutan pada tahun 2001 mencapai 21 juta hektar. Sementara, hutan rusak mencapai 36 juta hektar. Pada tahun yang sama tercatat 62 daerah aliran sungai (DAS) dalam kondisi krisis. Belum lagi pencemaran sungai di pulau-pulau besar di Indonesia. Belum lagi alih fungsi lahan di daerah resapan air. Seperti disoroti kalangan LSM dan diakui pemerintah, kondisi tersebut diperparah dengan lemahnya koordinasi antardepartemen untuk mengatasi semua persoalan itu. Saat ini, menurut data Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hanya 42 persen penduduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih dan sanitasi. Terkait dengan keberlanjutan ketersediaan air itulah pemerintah mendorong pengesahan UU No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Meskipun ditentang banyak pihak dan hingga kini menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi atas permintaan uji materiil, pemerintah tetap yakin bahwa itulah cara terbaik melindungi warganya dari ancaman kelangkaan air. Menurut Soenarno, kehadiran UU Sumber Daya Air sebetulnya untuk mencegah kesewenangan swasta terhadap petani atau masyarakat. Apalagi UU tersebut telah dilengkapi semua ketentuan yang dapat menjamin masa depan ketersediaan air bagi penduduk. Basuki Hadimulyo justru balik menuding bahwa carut marutnya persoalan air sekarang ini karena tidak ada ketentuan tegas yang mengatur pengelolaan SDA, sehingga pengusaha cukup memperoleh izin dari pemerintah setempat tanpa perlu berkonsultasi dengan masyarakat, seperti kasus di Klaten. Maka ia tetap bertahan agar UU itu disetujui MK, meskipun untuk itu ia harus "dimusuhi" banyak orang. Ia pun membantah keluarnya UU tersebut karena desakan Bank Dunia untuk memuluskan masuknya para pemodal dari luar negeri. Namun, yang ada di depan mata sekarang adalah kaum papa yang tidak mampu menjangkau air bersih. Air sementara ini hanyalah milik mereka yang punya uang. (Jannes Eudes Wawa/GESIT ARIYANTO) Post Date : 23 Maret 2005 |