|
Kerjasama pengelolaan air di DKI Jakarta oleh PAM Jaya dan dua mitranya, PT Palyja dan PT Aetra, berlangsung selama 25 tahun. Sudah 13 tahun lebih, kerjasama tersebut masih ruwet—mulai dari aroma asing sampai pelayanan yang tak kunjung baik. Pelanggan air leding di Jakarta saat ini membayar tarif antara Rp 1.050 hingga Rp 14.650 per meter kubik. Seperti yang tertera dalam perjanjian, PAM Jaya membayar kepada Palyja dan Aetra untuk imbalan air yang mereka hasilkan (water charge). Supaya mendapat untung, PAM Jaya mengusahakan jumlah dana yang dibayarkan masyarakat melebihi nilai imbalan. Namun ternyata tak semudah itu. Karena devaluasi rupiah sewaktu krisis moneter—plus nilai tarif air yang akhirnya lebih kecil pada beberapa kesempatan, PAM Jaya harus berutang kepada dua mitranya. Hingga November 2011, nilai utang itu mencapai Rp 619,97 miliar. Di akhir perjanjian nanti pada tahun 2023, PAM Jaya memproyeksikan utang tersebut dapat menggunung sampai Rp 18,2 triliun. Sejumlah Rp 10,9 triliun harus disetor ke Palyja, sementara Rp 7,3 triliun ke Aetra. PAM Jaya sempat meributkan hal tersebut dalam sebuah diskusi yang membahas 13 tahun privatisasi di Jakarta pada Juni tahun lalu. Direktur Utama PAM saat itu, Mauritz Napitupulu, adalah figur yang gigih menyinggung ketimpangan ini. Dalam satu kesempatan, Presiden Direktur Palyja, Philippe Folliasson pernah menyatakan bahwa jika PAM tak senang dengan layanan Palyja, mereka selalu punya pilihan untuk membatalkan kontrak. Upaya renegosiasi kontrak (rebalancing) justru berakibat dicopotnya Mauritz dari kursi direktur utama pada Desember lalu. PAM Jaya kini ditangani Sri Widiyanto Kedari. Mengingat ruwetnya masalah, pilihan memutus kontrak tentu selalu tersedia. Namun menurut perjanjian, PAM Jaya harus membayar penalti yang nilainya cukup besar, sekitar Rp 3-4 triliun untuk kedua mitra. Melihat proyeksi kerugian Rp 18,2 triliun—memutus kontrak tentu jadi pilihan yang rasional. Pilihan selanjutnya, tentulah tarif air yang akan dinaikkan. Dari laporan PAM Jaya, serta laporan keuangan Palyja dan Aetra tahun 2010 didapatkan bahwa tarif air tahun 2012 ini akan berkisar di antara Rp 8.310 hingga Rp 8.623 per meter kubik. Dengan skema ini, pengelolaan air bersih jadi membebankan kerugian pada konsumen—plus mengakomodasi kenaikan imbalan air untuk Palyja dan Aetra. Tarif air di DKI Jakarta akan berkisar dari Rp 17.491 hingga Rp 22.252 per meter kubik pada akhir kontrak di tahun 2023 nanti. Mampukah pelanggan membayarnya? Mari kita hitung. Dengan asumsi pemakaian sebanyak 20 meter kubik per bulan, skenario ini akan mengharuskan pelanggan membayar Rp 166.200 hingga Rp 172.460. Sangat tidak terjangkau bagi rakyat miskin di Jakarta. Angka batas garis kemiskinan pada Maret 2011 menurut pemerintah adalah Rp 233.740 per orang per bulan. Sebagai pembanding, kita bisa lihat tarif air per meter kubik yang jauh lebih murah seperti di Surabaya (Rp 2.600) atau Bekasi (Rp 2.300). Sementara itu di Singapura, rata-rata tarif air adalah Rp 5.000—dengan catatan air tersebut bisa langsung diminum. Berbeda jauh sekali dengan kualitas air di ibu kota. Kenaikan imbalan air—yang akan berujung pada kenaikan tarif—juga diminta oleh kedua mitra PAM Jaya melalui perhitungan yang dinamakan rebasing. Proses ini sudah terjadi dua kali dan dihitung per lima tahun, yakni periode 2003-2007 dan yang saat ini berlangsung adalah periode 2008-2012. Dari perhitungan proyeksi keuangan PT Palyja, didapatkan angka imbalan air pada periode ini adalah di Rp 7.020 per meter kubik. Namun hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta menyatakan bahwa angka tersebut terlalu tinggi—hingga diminta untuk dikoreksi jadi “hanya” Rp 4.662,16 per meter kubik. Dalam audit tersebut ditemukan kesalahan hitung dari laporan Palyja—seperti biaya pesangon, sewa kantor, ongkos manajemen, hingga biaya ekspatriat yang masih dimasukkan hingga berakibat harga imbalan air jadi tinggi. Kejanggalan-kejanggalan inilah yang akhirnya dikembangkan oleh Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta bersama Indonesia Corruption Watch (ICW), yang mengadukan dugaan tindak korupsi dalam pengolahan air. Sementara, renegosiasi kontrak (dengan harapan rebalancing) terus bergulir. Kabarnya akhir Maret 2012 ini dijadikan tenggat waktu. Sebenarnya jika rekomendasi BPKP di atas dijadikan acuan, maka harga tarif air bisa turun di level Rp 5.000-an. Konsumen harus cerdas dan terus memonitor ketat masalah air bersih ini. Jangan sampai konsumen yang terus dikorbankan. Karena air adalah kebutuhan pokok dan barang publik—serta akses masyarakat ke air bersih adalah hak asasi. Mohammed Ikhwan Post Date : 09 Februari 2012 |