|
Putusan pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi. Meski dua hakim mengajukan dissenting opinion, putusannya menolak permohonan para pemohon secara keseluruhan. Dengan putusan ini, Undang- Undang Sumber Daya Air (SDA) telah melewati dua pola uji sahih legislasi, DPR sebagai positive legislature dan MK sebagai negative legislature. Suatu pertanda, UU SDA kian kokoh eksistensinya. Air bernilai asasi Membaca putusan itu, terlihat runutan logika yang dibangun hakim dalam mengambil putusan. Bagi hakim, air adalah sebuah item bernilai asasi sehingga dikelompokkan menjadi HAM. Karena itu, negara harus mengambil peran dalam pengaturannya, yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh HAM, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill). Dari hal itu, mereka berpendapat, UU SDA mengatur hal-hal pokok dalam pengelolaan sumber daya air, dan meski UU SDA membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan hak guna usaha air dan izin pengusahaan SDA, hal itu tidak akan mengakibatkan penguasaan air jatuh ke tangan swasta. Negara tetap dalam kuasa melaksanakan hak penguasaan atas air, yakni merumuskan kebijaksanaan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Terlepas substansi putusan yang masih membuka perdebatan (misalnya oleh hakim yang dissenting opinion), putusan ini juga memperlihatkan sempit- nya sudut pandang hakim dalam memandang realitas air yang diakui sebagai HAM dan tercantum dalam konstitusi. Meski ada pengakuan terhadap dimensi hak asasi pada air, putusan ini bukan jenis putusan hukum HAM. Dimensi putusan hukum HAM seharusnya menjamah ke ranah lebih luas dari sekadar pertimbangan hukum an sich. Dimensi putusan hukum HAM seharusnya juga mempertimbangkan konteks sosiologis, bahkan kekinian (global trend). Pertimbangan sosiologis sama sekali tidak ditampilkan dalam putusan ini. Suatu pertimbangan sosiologis bertujuan memberi penjelasan tentang bagaimana praktiknya selama ini, menerangkan sebab, faktor yang berpengaruh maupun latar belakangnya (Satjipto Rahardjo, 2000). Sesuatu yang dalam istilah Max Weber disebut interpretative understanding (Weber, 1954). Tanggung jawab Seharusnya, para hakim melihat realitas pelaksanaan UU SDA. Mungkin, apa yang disampaikan Prof Mukhtie Fajar (salah satu hakim dissenter) lebih mendekati ke pendekatan ini, khususnya telah diperluasnya komersialisasi dan privatisasi SDA dalam sistem penyediaan air minum dengan memberi peranan kepada swasta melalui PP No 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang dalam Pasal 1 Butir 9 menyebutkan, Penyelenggara pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta, dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum. Padahal, Pasal 40 Ayat (2) UU SDA menyatakan, pengembangan SPAM adalah tanggung jawab pemerintah/pemerintah daerah (BUMN dan/atau BUMD). Pendekatan sosiologis ini menjelaskan, Pasal 40 Ayat (4) merupakan swastanisasi terselubung seperti terlihat dalam peraturan pemerintah yang merupakan implementasi Pasal 40 UU SDA. Selain itu, para hakim terlihat minim menerapkan pendekatan ini. Belum lagi jika kita melihat kenyataan, pelaksanaan UU SDA mulai menuai banyak kritik. Misalnya, Komisi A DPRD DKI Jakarta yang mulai mempertanyakan kerja sama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya lanjutan dengan Palyja (PAM Lyonaisse Jaya) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) karena dianggap merugikan rakyat (Koran Tempo, 20/5/2005). Termasuk penolakan YLKI atas kenaikan tarif air minum wilayah Jakarta (Kompas, 4/7/2005). Artinya, ada yang salah dengan pelaksanaan UU ini. Kedua, seharusnya juga melihat kecenderungan kekinian dan keadaan global. Global trend mencatat, sampai saat ini ada empat TNC besar pemegang kuasa di privat sektor air. Mereka adalah Suez, Veolia, Thames, dan Sur yang merajai bisnis ini di Eropa, Asia, Amerika Latin, Amerika Utara, dan Afrika. Suatu pertanda, privatisasi terhadap air sudah menjadi gelombang penguasaan yang akan memakan seluruh sektor air di dunia. The Center for Public Integrity (2003) melaporkan, While private companies run only 5 percent of the worlds waterworks, their growth over last 12 years has been enormous. In 1990, about 51 million people got their water from private companies, according to water analysts. That figure is now more than 300 million. Hal senada diteriakkan Switzerlands Pictet Bank yang memperkirakan, tahun 2015, 75 persen fasilitas air di Eropa dan 65 persen di Amerika akan diprivatisasi. Tren inilah yang mendorong gerakan umum untuk mendukung public sector sebagai pemegang kuasa atas air. Sebuah paper yang dipresentasikan di Ecumenical Meeting, April 2005 di New York, menunjukkan bagaimana penyediaan air oleh publik jauh lebih baik ketimbang jika dilakukan sektor privat (Dr Rogate R Mshana, 2005). Apa daya, di tengah kondisi itu, oleh MK, air dibuat mengalir menjauhi konstitusi, padahal seharusnya melindungi kepentingan rakyat. Namun, masih ada kelokan untuk menciptakan alur air agak kembali ke konstitusi. Untuk pertama kali MK mencantumkan klausul conditionally constitutional dalam putusannya. Jadi, jika dalam pelaksanaannya nanti UU SDA ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan MK tentang hak atas air, tidak tertutup kemungkinan UU SDA diuji kembali. Peluang inilah yang harus segera dipelajari. Zainal Arifin Mochtar Pengajar FH-UGM Yogyakarta; Student Summer Program American Legal System Georgetown University, Washington DC, AS Post Date : 01 Agustus 2005 |