|
Risau berkepanjangan merundung batin penduduk Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, karena krisis air bersih. Padahal, kondisi alam kecamatan itu umumnya dikelilingi gugusan bukit berhutan lebat dan berudara sejuk. Cabe, bawang putih, aneka tanaman bunga, dan sejenisnya di areal sawah yang subur akibat ratusan tahun silam pernah ditaburi letusan abu Gunung Rinjani, yang juga kekuatan kosmos etnis Sasak Lombok, tak mengesankan desa itu minus air bersih. Namun, tahun 1962-1986, air bersih menjadi barang langka. Saat musim kemarau, warga harus mengambil air hingga 3 kilometer. ”Banyak anak terpaksa libur belajar mengaji dan tak sekolah karena harus ikut antre ambil air,” ujar Ustaz Zuhri, warga Dusun Bawaknao Daya, Desa Sajang. Selama 1987-2005, sejumlah program pengadaan air bersih masuk ke desa berpenduduk 4.512 jiwa (1.015 keluarga) itu. Namun, kendala terus menghadang. Misalnya, warga setempat secara swadaya memasang pipa sejauh 8,5 kilometer dari sumber air dialirkan ke kampung itu. Setahun kemudian, instalasi pipa bocor dan jebol tergerus air bah pada musim hujan. Bahkan, debitnya sangat kecil sehingga warga harus antre mulai menjelang petang hingga pukul 24.00. Mereka pun harus membeli air setiap hari seharga Rp 2.500 per 20 liter. Lokasi sumber air terus berpindah, tetapi upaya pengadaan air bersih itu gagal lagi sehingga membuat warga hampir frustrasi dan putus asa. Musuh bersama Adalah Elena Khusnul Rahmawati, Direktur Yayasan Masyarakat Peduli, yang datang membawa ide pemberdayaan pada awal 2009. Krisis air dijadikan ”musuh bersama” untuk diatasi dengan spirit, etos kerja, semangat kerelaan, kesadaran, dan toleransi tanpa menanti belas kasihan pihak lain. ”Warga diajak mengedepankan prinsip keswadayaan, pendekatan proyek disingkirkan, karena sebutan proyek bagi masyarakat pasti uang,” kata Elena. Prinsip itu ditanamkan melalui pertemuan berulang kali mengingat adanya pro-kontra. Dari pengakuan warga yang berburu rusa, diketahui ada sumber air berdebit cukup besar di kawasan hutan Gunung Rinjani. Lokasinya berketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut atau 1.200 meter dari Desa Sajang. Dipelopori Yayasan Masyarakat Peduli, silang pendapat berakhir dengan terbentuknya badan musyawarah yang diketuai Ustaz Zuhri didukung pemuka masyarakat, pemerintah desa, kecamatan, dan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Tahun 2009, pekerjaan dimulai. Warga bergotong royong membuka jalan, membuat jalur pipa, membelah tebing berbatu cadas berkemiringan 90 derajat. Warga juga mengangkut material, seperti semen, pipa, dan pasir, dari desa ke lokasi kerja. Belakangan desa itu diberikan bantuan Rp 400 juta dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Uang dipakai untuk membeli pipa yang dipasang dari bak induk di lokasi Pancor Mas (kawasan Hutan Propok), berdekatan dengan Danau Segara Anak sebagai Kaldera Gunung Rinjani, ke empat dusun desa itu. Setelah setahun dikerjakan, 9 September 2010, air mengalir deras ke desa itu. ”Saya sempat pesimistis pemipaan ini tuntas. Namun, kenyataannya kelar juga, luar biasa,” ujar Iswan. Mimpi warga Desa Sajang akan air bersih sudah menjadi kenyataan. Malah kini fasilitas bak dan pipa terus dilengkapi, dibenahi. Misalnya, membolongi pipa transmisi untuk jatah beberapa rumah. Air kemudian dialirkan lewat selang seadanya ke keran patok milik warga. ”Di benak kami, yang penting air bisa masuk desa kami,” tutur Zukri. Pengelola Air Minum Masyarakat, selaku pengelola yang dibentuk warga, tengah berupaya melengkapi keran air dengan water meter. Tiap rumah tangga bersedia membayar Rp 500.000 secara tunai atau mencicil tiap empat bulan sekali dari hasil panen. Tarif per meter kubik direncanakan Rp 750-Rp 1.000. (KHAERUL ANWAR) Post Date : 03 Januari 2013 |