|
Ada informasi lain yang tidak terlalu baru berkaitan dengan penguasaan air. Informasi tersebut disampaikan pakar lingkungan, Dr Mulyanto, dalam surat elektroniknya. Menurut dia, masalah pengelolaan air ternyata sudah menjadi target perusahaan besar pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Johanesburg, Afrika Selatan, tahun lalu. Bank Dunia, masih menurut Mulyanto, berada di belakang operasi penguasaan air tersebut. Informasi tersebut jelas agak mengagetkan karena pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, air malah menjadi sesuatu unsur di bumi ini yang mendapat perhatian sebaliknya. Agenda 21 yang dihasilkan di ibu kota Brasil itu malah menempatkan air pada posisi yang aman dari sentuhan privatiasasi. Arah angin telah berubah tampaknya. Di tingkat dunia, daya desak perusahaan-perusahaan besar terus mencoba melakukan penguasaan pengelolaan air. Gelombang serupa juga terjadi di Indonesia. Hal tersebut terlihat nyata dalam dalam pertarungan politik di DPR yang pekan lalu setuju untuk mengesahkan Rancangan Undang Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) menjadi Undang Undang SDA. Semangat privatisasi sumber daya air sangat terasa pada hasil kerja politisi kita di DPR. Pendapat tersebut disanggah Ketua Komisi IV DPR, Sumaryoto. Menurutnya, materi yang terkandung pada pasal 40 RUU SDA yang akan segera menjadi UU itu bukan memberikan peluang privatisasi air. Sumaryoto berpendapat, penguasaan SDA pada RUU SDA sangat berbeda dengan pengertian privatisasi sebagaimana disebutkan pada UU No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. (Pembaruan, 19/2). Tentu saja pendapat tersebut langsung mendapat tanggapan dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air yang sejak awal menentang isi RUU SDA. Nila Ardianie dari koalisi tersebut dengan tegas menyebutkan, masalah penguasaan air minum sebagaimana tertuang pada Rancangan Undang Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) merupakan tahapan dari proses privatisasi air. Hal tersebut terlihat dari isi Pasal 40 ayat 4 RUU SDA. "Tentu saja definisi privatisasi dari UU No.19/2003 tidak bisa digunakan untuk menerangkan isi pasal 40 ayat 4 RUU SDA. Mari kita baca baik-baik makna yang terkandung pada pasal tersebut agar kita semua tahu dampak buruk dari disepakatinya RUU tersebut," kata Nila. Pasal 40 ayat 4 menyebutkan, koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum. Menurut Nila, dengan logika sederhana saja dapat ditarik kesimpulan bahwa, di tengah krisis ekonomi saat ini maka yang paling berpeluang untuk menguasai air bukan pihak swasta murni tapi kerjasama antara swasta dalam negeri dan swasta asing. Namun jika ditilik dari kecenderungan ekonomi saat ini, besar kemungkinan pihak swasta asing yang akan melakukan penguasaan air minum di Indonesia. Dengan lain perkataan, keterangan Ketua Komisi IV DPR, Sumaryoto dan sikap mayoritas politisi di DPR lainnya bisa diartikan sebagai bentuk kecerobohan politisi Indonesia untuk mengelola sumbar daya alamnya. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, menarik sekali menyimak pendapat kubu Fraksi Reformasi yang semula menolak pengesahan RUU SDA. Setelah DPR menyetujui untuk mengesahkan RUU SDA, Fraksi Reformasi berpendapat, bahwa pasal tersebut tidak boleh diartikan sebagai pintu masuk proses privatisasi. Rosyid Hidayat dari Fraksi Reformas mengingatkan, pasal 40 ayat 4 tidak bisa ditafsirkan sebagai bagian dari proses privatisasi. " Penyediaan air minum dapat dikelola koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat. Jadi yang dapat mengembangkan sistem penyediaan air minum bukan hanya badan usaha swasta tapi juga koperasi dan masyarakat. Selain itu, pengelolaan air minum itu juga akan diatur dan diawasi hanya untuk kawasan-kawasan tertentu,"jelasnya. Lepas dari persoalan sikapnya yang terkesan pragmatis tersebut, Rosyid mengakui bahwa sosialisasi RUU SDA ini kurang memadai. " Sekarang yang paling penting ialah, bagaiamana kita mengawal pembahasan Peraturan Pemerintah agar tidak membuka peluang terjadinya privatisasi," tambahnya. Rosyid tidak bersedia berkomentar banyak mengenai adanya rencana sejumlah kalangan untuk mengajukan hak uji atas UU SDA ke Mahkamah Konstitusi. "Saya tidak bisa melarang. Kalau mereka menilai RUU SDA yang akan segera menjadi UU itu bertentangan dengan UUD 45, silakan uji di MK," sambungnya. Lepas dari pendapat tersebut, Mulyanto dengan kesal mengatakan bahwa sikap politik DPR semakin menguatakan kesan betapa aspek ekonomi lebih menjadi pertimbangan mereka daripada persoalan nilai sosial air. " Gelombang liberasilisasi tampaknya sudah tidak terbendung lagi. Semua aspek hidup kita terpaksa harus tunduk pada kesepakatan-kesepakatan internasional yang hanya menguntungkan pemilik modal besar," tegasnya. (E-5/A-14) Post Date : 26 Februari 2004 |