Air Kemasan: Kebutuhan atau Keterpaksaan?

Sumber:Suara Pembaruan - 04 Januari 2006
Kategori:Air Minum
PERTANYAAN ini merupakan esensi dari tanya jawab antara salah satu anggota hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan penulis, saat menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan judicial review Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.

Kebimbangan hakim MK ini sesungguhnya mengemuka karena saat ini telah terjadi peningkatan penggunaan air kemasan di masyarakat, sehingga secara faktual bukankah air kemasan merupakan suatu kebutuhan?

Meskipun secara substansial pertanyaan yang dikemukakan hakim MK saat itu sangat tendensius, dan ada kesan sudah membela pihak tertentu yang sedang berselisih pendapat, namun sebagai saksi ahli tetap berusaha memberikan jawaban akademik sekaligus memberikan nilai edukasi kepada semua pihak.

Menjawab pertanyaan tersebut, diilustrasikan bahwa saat sumber air belum tercemar, orang di perdesaan berani meminum air sumur secara langsung tanpa harus dimasak dahulu. Tetapi setelah air kemasan muncul, perhatian pemerintah terhadap pengawasan pencemaran sumber air terlihat mengendor.

Indikasinya sangat jelas, yaitu dari banyaknya sumber air yang awalnya layak minum menjadi tidak layak minum akibat tercemar. Akibatnya, masyarakat meskipun miskin "terpaksa" harus membeli air kemasan untuk menghindari terjadinya infeksi akibat terserang pathogen yang biaya pengobatannya jauh lebih mahal.

Inilah eksploitasi absolut yang secara tidak sadar harus ditanggung dan dipikul masyarakat akibat kelalaian kita bersama. Paling tidak ada keterpaksaan yang dampaknya sangat merugikan masyarakat luas.

Harga Air

Keterpaksaan juga berkaitan dengan keberatan Gubernur DKI Jakarta dalam menolak usul kenaikan tarif air minum setiap enam bulan sekali tanpa diimbangi peningkatan layanan yang proporsional. Keterpaksaan konsumen air minum yang harus menerima tarif yang mahal ini menimbulkan keresahan hampir semua konsumen air minum nasional.

Padahal, operator air minum Palyja melalui PDAM DKI membeli harga air baku dari Perum Jasa Tirta/PJT II dengan harga hanya Rp 100 per meter kubik, sementara mereka menjual ke konsumen dengan tarif Rp 5.000 per meter kubik.

PJT II dengan harga tersebut harus menyalurkan air sepanjang 70 kilometer sekaligus mengoperasikan pompa 17 pompa di Curug dan 4 pompa di Cawang. Pembelian air baku dengan harga yang sangat murah dari PJT II ini menyebabkan biaya eksploitasi dan pemeliharaan jaringan pemasok air baku ke Palyja cenderung mengalami penurunan.

Terbatasnya biaya OP ini menyebabkan investasi PJT II ke konservasi lingkungan dan sumber air di daerah aliran sungai kawasan hulu menjadi sangat terbatas, sehingga kemampuan pasokan air secara alamiah terus mengalami penurunan yang sangat signifikan seperti yang terjadi belakangan ini.

Terjadinya dis-equilibrium antara aliran air (water flow) dari hulu ke hilir tanpa diimbangi aliran dana (cash flow) konservasi dari hilir ke hulu menyebabkan terjadinya ketidakpastian pasokan air menurut ruang dan waktu semakin meningkat.

Masyarakat hulu merasa tidak harus bertanggung jawab terhadap pasokan air dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan apabila konservasi di DAS hulu tidak dilakukan. Sementara masyarakat hilir sudah terbiasa menikmati nilai tambah sesaat yang sejatinya bersifat temporal saja.

Dampaknya, kedua belah pihak menyerahkan sepenuhnya tugas dan tanggung jawab penyediaan dan konservasi air kepada pemerintah seperti yang terjadi sekarang ini. Itulah sebabnya sampai saat ini belum ada satupun pendekatan yang jitu untuk menyelesaikan masalah utama penyediaan air menurut ruang dan waktu.

Diperlukan skema pembiayaan dan tanggung jawab yang jelas antar-aktor penerima manfaat di hilir dan penyedia jasa di hulu yang notabenenya marginal secara teknologi maupun permodalan.

Keterpaksaan lainnya berkaitan air minum adalah terjadinya trans-alokasi air dari sektor pertanian ke sektor industri dan air minum. Dengan menggunakan keunggulan akses birokrasi, modal dan teknologi, perusahaan air minum dan industri meminta jaminan kontinyuitas pasokan ke provider air baku agar dalam kondisi apapun pasokan mereka stabil. Padahal secara riil, mereka hanya mempekerjakan sebagian kecil tenaga kerja.

Sementara itu, tanggung jawab penyediaan lapangan kerja dan penyangga ekonomi nasional masih bertumpu pada sektor pertanian yang fragile terhadap kelangkaan air. Melalui penguasaan air tanah, mata air dan air permukaan yang ada di waduk menyebabkan sektor pertanian terkepung dari tujuh penjuru mata angin.

Terjepit

Pengurasan air tanah dan okupasi mata air oleh perusahaan air minum akan memosisikan pemerintah dan rakyat semakin terjepit dan tidak mempunyai pilihan kecuali menyatakan menerima syarat apapun yang mereka minta.

Kemudian keterpaksaan yang harus diwaspadai adalah terjadinya capital fly absolute, karena secara faktual modal industri air minum relative kecil dibandingkan industri yang padat modal dan teknologi lainnya. Sementara itu keuntungan yang dapat diraihnya sangat besar dan dalam waktu yang tidak lama.

Itulah sebabnya sebagian besar investor asing mengincar posisi sebagai operator air minum maupun air kemasan. Dengan menggunakan akses birokrasi dan memanfaatkan celah perundangan yang ada mereka dapat memompa air untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin.

Mata air yang semula menjadi madu bagi masyarakat dalam mengembangkan diversifikasi komoditas, kini setelah diokupasi oleh perusahaan air kemasan berubah menjadi air mata.

Menyedihkan lagi, mereka hanya membayar pajak air tanah yang sangat murah sekali.

Komodifikasi air akan mendorong terjadinya disintegrasi tripartite yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengelola sumber daya air.

Sektor swasta yang profit oriented tidak merasa sebagai barang ekonomi dengan menghapuskan peran sosialnya, juga me bertanggung jawab terhadap konservasi dan kerusakan sumber air.

Eksploitasi air yang mereka lakukan dianggap sudah selesai setelah membayar pajak retribusi yang jumlahnya sangat kecil dan tidak proporsional dibandingkan dengan dampak negatifnya serta keuntungan yang mereka peroleh.

Sementara pemerintah selalu berharap peran serta masyarakat untuk mengelola lingkungannya secara partisipatif.

Sebagai bagian yang paling tidak berdaya, masyarakat merasa tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya air, karena madunya sudah dihisap swasta, anggarannya ada di pemerintah, sementara mereka yang sudah marginal harus membantu dan menyubsidi swasta yang kaya.

Kondisi ini semakin carut marut, karena laju kerusakan yang terjadi jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan rehabilitasinya.

Cepat dan pasti kelangkaan air akan terjadi, yang membedakan besaran kelangkaan air antar tempat dan antar wilayah adalah seberapa kuat intensitas, seberapa lama dan seberapa besar dampaknya.

Gatot Irianto,Penulis adalah Direktur Pengelolaan Air, Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian

Post Date : 04 Januari 2006