SUNGAI Kapuas tidak seperti dulu lagi. Kini Kapuas sangat kotor dan airnya berwarna cokelat keruh. Mengalir di wilayah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, sungai ini panjangnya mencapai sekitar 600 kilometer. Ia membentang dari Kecamatan Kapuas Hulu hingga Kecamatan Selat.
Sungai Kapuas yang lain berada di wilayah Kalimantan Barat. Yang ini panjangnya 1.143 kilometer, dan tercatat sebagai sungai terpanjang di Indonesia.
Di Kalimantan Tengah, Kapuas sudah digerogoti keserakahan manusia. Dulu, air yang mengalir memang berwarna cokelat, tapi bersih dan jernih. Tanah dan pasir yang terbawa mampu disaring banyaknya akar-akar pohon yang tumbuh di bantaran sungai.
Aya, 50, warga Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, ingat persis saat ia bisa leluasa mandi di Sungai Kapuas, tanpa khawatir. Dulu, setiap hari ia bisa mereguk kesegaran air sungai yang mengalir di depan rumah panggungnya.
Kini, anak-anak Aya tidak bisa merasakannya lagi. “Kalaupun nekat terjun ke sungai, esok hari mereka pasti akan mengeluh gatal-gatal di kulit,” jelas Aya.
Ratusan bahkan ribuan tahun silam, Kapuas sudah menemani warga secara turun-temurun. Ia teman setia, karena tidak hanya dimanfaatkan sebagai sarana transportasi.
Kapuas menyediakan ikan yang berlimpah dan menjadi sumber mata pencarian warga.
Di sungai juga warga melakukan apa saja, mulai dari mandi dan mencuci, hingga memanfaatkan airnya untuk minum dan memasak.
Beberapa tahun terakhir, Sungai Kapuas sudah tidak seramah dulu lagi. Sungai rusak se telah terjadi pembabatan hutan, penggalian emas, hingga pengambilan pasir secara serampangan.
Akibatnya, saat musim hujan, Kapuas menjadi bencana. Kala kemarau pun, Kapuas mendangkal sehingga sulit dilewati kapal.
Sungai juga tidak lagi berlimpah ikan. Air keruh membuat ikan menghilang, dan salah satu sumber mata pencarian warga pun berkurang.
Katunjung adalah desa pedalaman dan nyaris terisolasi. Tidak ada jalan darat untuk menuju ke sana. Untuk menuju Katunjung, sarana transportasi utama adalah Sungai Kapuas. Dari
Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah, butuh waktu 3 jam untuk sampai ke desa itu, dengan speedboat. Jika memilih kelotok, waktu tempuhnya bisa molor dua kali lipat. Dari Kota Kapuas, ibu kota Kabupaten Kapuas, juga butuh waktu 3 jam dengan speedboat dan 6 jam dengan kelotok.
Tawas
Kotornya Kapuas tidak membuat warga bisa berpaling. Maklum, mereka tidak punya pilihan. Tidak ada aliran air bersih dari perusahaan daerah air minum ke daerah terisolasi ini. Untuk membuat sumur, harus digali sangat dalam, dan butuh biaya besar.
Alhasil, air kotor Kapuas tetap digunakan untuk mandi dan mencuci. Bahkan untuk minum dan memasak, air yang sama juga dimanfaatkan.
Namun, seperti warga lain, Aya harus memasukkan obat pemutih atau tawas ke air sungai yang ditampung dalam ember besar. Setelah bersih dan disaring, air dipanaskan, sebelum diminum.
“Walaupun sudah biasa menggunakan air sungai, tetap saja air kotor berdampak. Warga sering mengalami gatal-gatal dan diare,“ ungkap Ardianson, Kepala Desa Katunjung.
Sudah beberapa kali ia meminta camat dan menyurati pe merintah kabupaten untuk membuatkan sarana air bersih bagi warga. Namun, upaya itu belum membuahkan hasil.
Namun, derita warga nya sedikit berkurang setelah wilayah ini didapuk menjadi salah satu model kawasan reducing emissions from deforestation and degradation (REDD) plus.
Di Ka tunjung sudah dibangun puskesmas terpadu. Sekalipun kecil, pusat kesehatan itu bisa membuat diare tidak menjadi wabah yang berkepanjangan.
Ardianson menambahkan, hidup di zaman kemerdekaan ti dak membuat isolasi yang mem belenggu desa ini bisa di lepaskan. Sampai sekarang, warganya tidak pernah merasakan terangnya nyala listrik pada malam hari. Selain itu, mereka tidak pernah mendengar dering telepon.
Tanpa campur tangan pemerintah, sulit untuk membuka isolasi itu. Kemampuan warga sangat terbatas karena kebanyakan adalah petani rotan dan nelayan sungai, yang penghasilannya sangat terbatas.
“Dua hal yang sangat kami butuhkan, yakni jalur darat yang terhubung dengan ibu kota kecamatan, serta air bersih untuk kebutuhan sehari-hari,” tandas Ardianson. SURYA SRIYANTI
Post Date : 03 Oktober 2011
|