|
HARI ini merupakan Hari Air Sedunia, yang diperingati sejak 1993, setiap 22 Maret. UNESCO, badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan menetapkan tema peringatan Hari Air Sedunia tahun ini dalah Air dan Budaya. Menyambut hari tersebut, wartawan PR Deni Yudiawan menelusuri kondisi air di Cekungan Bandung dari faktor budaya, serta mengamati hulu Citarum yang kemudian disajikan dalam dua tulisan di halaman ini. Semoga bermanfaat. Karena perannya yang penting dalam kehidupan, air memiliki dimensi budaya yang sangat kuat. Tanpa pemahaman dan pertimbangan aspek budaya, masalah air tidak akan ada solusi yang dapat dipecahkan KUTIPAN itu diambil dari sebuah pernyataan saat pertemuan tingkat menteri, dalam sesi diversitas air dan budaya, Forum Air Sedunia, 22 Maret 2003. Air memang menjadi sebuah kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia, layaknya udara. Karena selalu bersinggungan dengan manusia, maka faktor budaya tidak dapat dilepaskan dari masalah air ini. Air telah mengubah wajah peradaban manusia dari zaman ke zaman. Bahkan, sejak pertama kali manusia diciptakan. Tubuh manusia sekalipun, sebanyak 80% nya adalah terdiri dari komponen air. Beruntung, manusia tinggal di atas bumi--yang juga disebut sebagai planet air--hingga tak akan terlalu kesulitan dalam melangsungkan kehidupannya. Air selalu dihubungkan dengan kehidupan. Air juga lekat dengan faktor kesehatan, masa depan, pembangunan, hingga bencana. Namun demikian, tak sedikit orang melupakan faktor budaya dalam masalah air. Padahal, seperti dalam kutipan tadi, semua masalah tentang air tak akan ada solusi yang dapat dipecahkan tanpa pertimbangan aspek budaya. Karena hal itu pulalah, peringatan Hari Air Sedunia 2006 yang jatuh pada 22 Maret ini mengambil tema Air dan Budaya (Water and Culture). Tak semata-mata tema tersebut diangkat oleh UNESCO, salah satu badan PBB yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Direktur Jenderal UNESCO, Koichiro Matsuura, bahkan mengakui bahwa masalah air tidak hanya dapat dipandang dari sisi ilmu pengetahuan saja. Menurut dia, keberadaan air dari sisi kultural telah menyentuh berbagai aspek humanisme pada tiap komunitasnya dan membentuk sebuah struktur, aturan, dan praktik penggunaan air tersendiri sesuai dengan norma yang ada. Air sangat berperan penting dalam kehidupan sosial. Mengatur air dalam pendekatan budaya sama pentingnya dengan pendekatan teknis. Cepatnya pertumbuhan penduduk menjadikan masalah pada keberlangsungan siklus air. Meski air dikenal merupakan sebuah sumber daya terbarukan, namun sejalan dengan perkembangan teknologi serta berbagai dampak negatifnya, air menjadi sesuatu yang sangat sulit didapat saat ini. Berbagai konflik bahkan sering ditimbulkan akibat air. Terlebih lagi, komersialisasi air bersih saat ini juga membawa sebuah masalah baru di tengah sulitnya mendapatkan air di tengah perkotaan. Mungkin, sekira dua juta jiwa penduduk Kota Bandung dapat merasakan masalah kesulitan air ini. Humas PDAM Kota Bandung menyebut angka 139.896 pelanggan yang tercatat hingga Februari 2006 lalu dengan aliran debit air sebesar 2.593,78 liter/detik. Namun demikian, masih saja ada jeritan kekurangan air dari para pelanggan PDAM ini dalam surat pembaca. Kekecewaan pelanggan lain kebanyakan hanya dilakukan dengan menelan ludah karena merasa tak pernah ditanggapi. Tentu saja jeritan pelanggan ini terjadi karena air dari PDAM belum sesuai dengan debit air kebutuhan pelanggan. Makanya kita melakukan sistem bergilir saat mendistribusikan air, agar semua kebagian, tutur salah seorang staf Humas PDAM. Saking sulitnya mendapatkan air di Kota Bandung, sumur bor untuk mengambil air tanah adalah salah satu alternatif yang telah umum dijumpai. Mahal memang, tapi cukup berfungsi untuk melengkapi salah satu kebutuhan hidup yang tak dapat ditinggalkan. Kondisi itu, tentu berbeda dengan masa lalu, sebagaimana kenangan yang masih melekat dalam benak Toto Suparta. Bagi warga Kebonbibit Tamansari, Kota Bandung berusia 63 tahun ini, hampir sepanjang hidupnya tinggal tepat berdampingan dengan Sungai Cikapundung. Ia ingat betul, masa-masa kecilnya dihabiskan dengan bermain-main di Sungai Cikapundung. Hampir seluruh warga Kebonbibit saat itu, mencuci pakaian, mandi, hingga mengambil air minum di sungai tersebut. Namun sekarang, jangan harap peristiwa itu dapat kembali berulang. Jangankan berenang atau mencuci baju, untuk mendekat pun kini harus menutup hidung karena bau sampah dan limbah industri. Sebagian besar masyarakat di sekitar pinggiran Sungai Cikapundung saat ini harus membeli air bersih untuk minum. Untuk kebutuhan lainnya, banyak sumur bor yang sengaja ditanam di pinggir sungai. Hasilnya, air cukup jernih dapat keluar meski disertai dengan modal yang tidak sedikit. Air ledeng dimasak Dahulu, sumber air banyak dan berlimpah. Dalam perkembangannya, sekarang air sangat terbatas dan harus membeli. Bahkan, dengan mengandalkan air ledeng pun harus dimasak dahulu sebelum diminum, tutur Dr. Johan Iskandar, pakar ekologi manusia dari Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran (PPSDAL Unpad). Dia mengatakan, kendala air sekarang ini cukup banyak, padahal kebutuhan semakin mendesak dan berpengaruh pada keberlanjutan manusia. Kehidupan saja akan terancam, apalagi kebudayaannya! katanya. Ia percaya, kehidupan manusia akan memengaruhi dan dipengaruhi oleh ekosistem yang ada. Kebudayaan masyarakat Kota Bandung, saat ini telah jauh berubah seiring dengan berubahnya kualitas air sungainya. Sebuah ekosistem yang berubah akan memengaruhi sistem sosialnya. Kondisi di Bandung saat ini, menurut Johan, dua-duanya telah berubah, ya ekosistem maupun kehidupan manusianya. Ekosistem telah berubah dengan banyaknya pencemaran rumah tangga dan industri. Manusianya juga berubah dan tidak bisa memanfaatkan sungai tersebut. Pendapat Johan dibenarkan Dosen Luar Biasa FISIP Unpad yang juga peneliti pengembangan wilayah, Citra Eco Center (CEC) Bandung, Drs. Rusdi, M.Si. Menurut Rusdi, meski Kota Bandung berada di dataran tinggi, kebudayaan pertama di Bandung tetap berawal pada daerah dekat air. Sejumlah permukiman pun pasti berdekatan dengan air dari dulu hingga kini. Banyaknya sawah, balong (kolam), maupun usaha-usaha yang menggunakan air di sekitar Bandung, merupakan salah satu bukti bahwa air telah membentuk sebuah budaya tersendiri. Manusia mengadakan sebuah interaksi dengan lingkungannya. Namun, seiring dengan banyaknya alih fungsi areal persawahan dan berubahnya lingkungan maka berubah pula kebudayaannya. Budaya buang sampah Sebuah budaya yang tidak pernah berubah, bahkan makin menggila saat ini, yaitu budaya masyarakat membuang sampah ke sungai. Peneliti ekologi perairan Citra Eco Center (CEC) Bandung, Drs. Hilmi Salim, M.Si. mengemukakan, hasil penelitian mereka tentang tercemarnya air di sungai Kota Bandung. Terutama Sungai Cikapundung, hampir 80% nya adalah limbah domestik. Sementara, sisanya adalah industri yang menyumbang bahan-bahan berbahaya seperti logam berat, berbahaya, dan beracun ke aliran sungai. Dari beberapa sungai yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Sungai Cikapundung menduduki peringat pertama yang memiliki tingkat pencemaran paling tinggi. Kemudian disusul oleh Sungai Cirasea, Cisangkuy, Citarik, Cikeruh, dan Ciwidey. Parameter yang digunakan adalah pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan parameter unsur hara seperti senyawa nitrogen dan fosfor. Budaya membuang sampah ke sungai, menurut Hilmi, hanya dapat diubah dengan mengubah perilaku masyarakat daerah itu sendiri dan tak dapat dilakukan dengan infiltrasi dari luar. Pencemaran sekarang makin besar, bahkan makin kurang ajar! Perkembangan sejak 1997 sangat dramatik, baik dalam perubahan tata guna lahan maupun dalam budaya membuang sampah ke sungai. Sangat tak terkendali, katanya. Keadaan itu kemudian disambung dengan kasus TPA Leuwigajah hingga penolakan TPA makin bermunculan dan sistem pembuangan sampah tak berjalan. Padahal, sampah terus diproduksi sekira 2-3 liter/orang/hari. Sekarang, mana yang lebih berbahaya, sampah domestik atau industri? Hilmi menjawab, dua-duanya. Dari segi kuantitas sampah di sungai, masyarakat tetap paling bertanggung jawab dalam pencemaran. Namun, dari segi intensitas limbah, industri tetap sangat berpengaruh secara jangka panjang, karena kandungan logam berat bersifat mutagenik (menyebabkan mutasi pada jaringan tubuh) serta karsinogenik (menyebabkan kanker). Dampak pencemaran sungai, tentu saja dirasakan kembali oleh masyarakat. Seorang warga Jln. Pelesiran Cihampelas, Mamat (59), biasanya dapat memanen ikan dalam karamba yang disimpannya di Sungai Cikapundung secara utuh. Akan tetapi, saat ini paling banter ia dapat memanen setengahnya dari ikan yang ditanamnya. Keadaan itu, membuat sejumlah petani ikan dalam karamba di Sungai Cikapundung terpaksa gulung tikar sejak dulu dan kini hanya menyisakan belasan orang saja. Ah, ini mah hanya hobi saja daripada nggak ada kerjaan, ujar Mamat, sembari terus memberi makan ikannya dengan pakan pelet. Meskipun demikian, Mamat kerap memanen ikan emasnya hingga seberat 2 kg/ekor. Selain pencemaran dan budaya membuang sampah ke sungai, air juga dapat menyebabkan pertikaian. Tak sedikit kasus besar di dunia terjadi karena pertentangan masalah air, seperti banyak terjadi di Afrika. Berubahnya budaya masyarakat dulu yang sarat akan toleransi dan memiliki organisasi sosial yang kuat, membuat air dapat dibagi mulai dari hulu hingga ke hilir. Namun, keegoisan dan keserakahan manusia menjadi biang kerok dalam permasalahan air di tengah masyarakat. Post Date : 22 Maret 2006 |