|
KEBIASAAN warga meminum air tanpa dimasak lebih dahulu, bukan hal baru untuk masyarakat pedesaan di NTT. Pola itu sudah menjadi turun temurun dan masih berlangsung hingga saat ini. Bahwa untuk menghilangkan dahaga, warga desa tak sungkan-sungkan meneguk air yang tidak dimasak. Jangan anak-anak, orang dewasa pun sudah terbiasa dengan cara tersebut. Lantas, salah perilaku itu? Siapakah yang paling bertanggung jawab untuk memperbaikinya? Deretan pertanyaan ini tentu saja terus menyeruak, manakala kita ingin membedah persoalan itu secara lebih jauh. Bahwa kebiasaan warga itu erat kaitannya dengan penyakit diare yang terjadi setiap tahun. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, dr. Herman Man mengemukakan, penyebab diare memang bukan hanya mengkonsumsi air yang tidak higyenis. Faktor lain seperti kebersihan makanan yang tidak diperhatikan dan tidak mencuci tangan sebelum makan pun menjadi salah satu biangnya. Namun untuk warga Kecamatan Takari, penyebab utama meluasnya penyakit diare adalah warga mengkonsumsi air yang tidak dimasak terlebih dahulu. Apalagi air yang di minum itu, bersumber dari kali Noelmina yang sudah tercemar. Terkontaminasinya unsur tertentu pada air itu, disebabkan beberapa faktor. Pertama, di kali Noelmina, sering sekali sopir dan kondektur mencuci kendaraannya. Kedua, banyak juga ternak milik warga berkubang di pinggir kali. Ketiga masih banyak perilaku warga yang membuang hajat di sembarang tempat, alias bukan pada kakus/WC (water closet). Beberapa faktor ini yang menjadi sebab, mengapa diare di wilayah tersebut selalu terjadi sepanjang tahun. Apalagi air yang dikonsumsi itu ternyata telah mengairi petak-petak sawah di wilayah itu. Dengan demikian, air yang dikonsumsi warga, jelas-jelas tak higyenis lagi. Data yang diperoleh di Puskesmas Takari menyebutkan, pada bulan Agustus, jumlah penderita diare sebanyak 58 orang. Sementara bulan September menurun menjadi 38 orang. Para penderita penyakit tersebut adalah anak-anak. Menurut seorang perawat pada Puskesmas Takari, Anton Naisunu, setiap bulan pasti ada pasien yang dirawat karena diare. "Seorang pasien diare baru saja pulang setelah mendapat perawatan di puskesmas ini," ujarnya ketika ditemui Pos Kupang, Sabtu (30/9) petang. Saat itu, Puskesmas Rawat Inap Takari memang sepi. Tak satu pasien pun yang menjalani rawat inap di tempat itu. Olehnya, bagi yang bertugas di puskesmas itu, tak ada pasien adalah hal yang sedikit menggembirakan. Karena mereka bisa beristirahat lantaran tak memberikan pelayanan. Akan tetapi, tatkala diare mulai meluas, sebagian waktu terkuras untuk mendampingi pasien. Pasalnya mereka harus memberikan pelayanan yang maksimal kepada pasien yang datang silih berganti. Menyinggung penyebab diare yang menyerang warga setempat, Naisunu secara tegas mengatakan, sebab utamanya adalah warga mengkonsumsi air yang sudah tercemar. Dan, sesuai hasil pemeriksaan laboratorium, air yang dikonsumsi warga Takari sudah mengandung ecoli. Dari penuturan tersebut, maka menjadi jelas bahwa kandungan ecoli itu bersumber dari perilaku warga yang membuang hajat di sembarang tempat. Air yang dikonsumsi itu pun bersumber dari kali Noelmina, yang mana menjadi tempat cuci kendaraan, plus kubangan ternak. Untuk itu, tak ada cara lain bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang untuk membantu masyarakat agar terhindari dari penyakit diare. Solusi itu bukan hanya pada aspek kuratif, yakni menyediakan obat-obatan di puskesmas, tetapi juga memikirkan pengadaan air bersih lewat pipanisasi. Bila cara ini disandingkan dengan sosialisasi yang rutin kepada warga tentang pentingnya mengkonsumsi air yang sudah dimasak, maka ke depan, warga setempat tak lagi resah karena diare yang menyerang sepanjang tahun. Sebab, biang diare sudah diatas lewat program pipanisasi dan rutinya sosialisasi tentang kiat menghindari penyakit tersebut. Mudah-mudahan Pemkab Kupang menanggapi ini secara serius demi kemaslahatan warga Takari. (marsel ali) Post Date : 11 Oktober 2006 |