|
CILACAP (Media): Sedikitnya 27 ribu hektare (ha) dari 63 ribu ha areal pertanian yang ada di wilayah Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), berpotensi mengalami kekeringan. Sejumlah 17 ribu ha di antaranya merupakan lahan tadah hujan dan 10 ribu sisanya sawah aliran irigasi teknis yang wilayahnya paling jauh dari saluran induk. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap Anton Santosa, Dinas Pertanian tengah mengusahakan pengadaan pompa air untuk menyelamatkan areal yang ditanami padi. "Saat ini wilayah tersebut memasuki musim tanam (MT) II yang masa panennya mundur. Untuk MT III, kita belum tahu apakah petani di wilayah itu tetap menanam padi atau tidak. Seyogianya petani tidak menanam padi karena akan memasuki kemarau, dan menggantinya dengan palawija," kata Anton. Petani yang telanjur menanam padi perlu persiapan lebih dini. Misalnya, dengan menyiapkan pompa air. Anton menjelaskan, Pemkab Cilacap menyediakan pompa air dan mengeluarkan kebijakan penggiliran air. "Misalnya, saat ini pada daerah irigasi sederhana hanya 86 persen dari 11,4 ribu ha yang terlayani. Jadi ada sekitar 2.000 ha lebih yang belum terlayani. Sedangkan pada daerah saluran irigasi teknis, ada sekitar 600 ha yang tidak terlayani. Kita menempuhnya dengan sistem gilir," jelasnya. Menurut Anton, aliran irigasi ke sawah-sawah di wilayah Cilacap tidak dapat dilepaskan dari kondisi saluran air. Di Cilacap, jelasnya, kerusakan terjadi pada 65% atau sekitar 106 km saluran induk dan pada 57% atau sekitar 250 km saluran sekunder. "Kerusakan meliputi masalah fisik dan pendangkalan saluran," kata Anton. Masalahnya, dana untuk membangun saluran irigasi yang rusak sangat tinggi. "Nantinya bukan Dinas Pertanian yang akan menghitung biayanya, melainkan Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Untuk pemeliharaan saluran, dibutuhkan dana sekitar Rp6 miliar. Tahun lalu alokasi untuk pemeliharaan hanya Rp1,7 miliar, sehingga masih mengalami kekurangan cukup banyak," ujarnya. Namun, kekeringan di Cilacap tidak akan membuat stok pangan bagi masyarakat Cilacap berkurang. "Produksi padi di Cilacap mencapai 701 ribu ton lebih gabah atau setara dengan 443 ribu ton lebih beras. Padahal tingkat konsumsi masyarakat Cilacap hanya 194 ribu ton lebih beras. Jadi stok pangan di Cilacap pada musim kemarau mendatang masih tetap mencukupi kebutuhan masyarakat," jelasnya. Beli air irigasi Sementara itu, akibat kekeringan yang mengancam ratusan ha lahan padi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, para petani di Klaten terpaksa membeli air irigasi dari Rawa Jombor yang debit airnya mulai turun. Padahal saat kemarau, air Rawa Jombor menjadi rebutan antara petani ikan dan pengusaha warung apung serta petani. "Untuk mengairi tanaman padi yang sedang berbuah, kami dari kelompok tani berupaya membeli air irigasi dari Rawa Jombor. Kalau tidak, dapat dipastikan petani akan mengalami gagal panen," kata Suroto kepada Media di persawahan Desa Cawas, Sabtu (28/5). Menurut dia, ke-17 anggota kelompok taninya berpatungan membeli air dari Rawa Jombor seharga Rp1,1 juta untuk sekali pasok. Setelah air dialirkan ke Kali Balong, petani bisa mengambil air tersebut dengan membayar Rp10.000 per petak lahannya. Di wilayah Kecamatan Cawas, kondisi terparah terjadi di Desa Burikan, Karangasem, dan Kedungapel. Tanah persawahan di tiga desa itu saat ini sudah kering dan tanaman padi terancam puso. Petani di Desa Cawas berharap masih bisa mengairi areal tanaman padi dua kali lagi. Kalau tidak, hasil panen raya II Juli/Agustus mendatang bisa merosot. "Oleh karena itu, petani rela mengeluarkan biaya lagi untuk mendatangkan air," ujar Suroto. Kekeringan di Klaten berpengaruh terhadap target produksi gabah. Menurut data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Klaten, rencana produksi tahun ini sebesar 312.932 ton. Tetapi bisa jadi itu tidak tercapai akibat kekeringan.(LD/JS/H-2). Post Date : 30 Mei 2005 |