|
Permukaan tanah Jakarta turun 1 hingga 10 sentimeter per tahun. Pemanasan global mengakibatkan permukaan air laut naik. Sebagian wilayah Jakarta bakal tenggelam. Gelombang pasang yang merendam kawasan Muara Baru dan Muara Karang, Jakarta Utara, akhir November lalu, bakal terulang. Gelombang laut diramalkan kembali menerjang pesisir Jakarta pada 20 hingga 25 Desember. Peringatan ini disampaikan Badan Meteorologi dan Geofisika kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Peringatan dini ini disampaikan agar warga siap menyongsong gelombang pasang yang dapat mengakibatkan banjir alias rob itu. Sebab limpasan air setinggi 200 sentimeter akan menggenangi kawasan permukiman di pantai utara Jakarta. Naiknya air laut ke darat, selain akibat meningginya permukaan laut, juga karena turunnya permukaan tanah. Muka air laut meningkat sekitar 8,8 milimeter per tahun. Sedangkan tanah di Jakarta turun 1-10 sentimeter per tahun. Air laut pun meluber ke daratan. Untuk membuktikan penurunan permukaan tanah Jakarta ini, Hasanuddin Zainal Abidin, peneliti di Divisi Riset Geodesi, Institut Teknologi Bandung, melakukan pengukuran di 27 titik di Jakarta, dari tahun 1997 hingga 2005. ''Penurunannya ada yang 10 sentimeter per tahun,'' katanya. Daerah yang laju penurunnya tinggi, menurut Hasanuddin, adalah pantai utara Jakarta. ''Seperti Pantai Indah Kapuk, Daan Mogot,'' ujarnya. Menurut dia, ada empat faktor penyebab melorotnya permukaan tanah itu. Yaitu penyedotan air tanah yang berlebihan dan beban bangunan. Juga kompaksi sedimen (endapan). ''Karena sedimen itu lama-lama memadat,'' ia melanjutkan. Selain itu, penurunan permukaan tanah terjadi jika ada sesar (patahan). Untuk kasus di Jakarta, belum jelas faktor mana yang paling dominan. ''Tergantung daerahnya. Jika di kota, faktor pengambilan air tanah dan beban bangunan yang dominan,'' katanya. Di utara Jakarta, karena kompaksi sedimen dan beban bangunan. Laju penurunan tanah di Jakarta tidak merata. Tiap-tiap daerah punya kecepatan sendiri-sendiri. ''Tidak sama dan rata, juga tidak linear. Kadang-kadang turun, berhenti, terus turun lagi,'' tuturnya. Yang jelas, fenomena anjloknya permukaan tanah di Jakarta memang benar-benar terjadi. Menurut Adrin Tohari, peneliti pada Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung, pada tanah di pesisir utara Jakarta rentan terjadi likuifaksi. Likuifaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat beban getaran. Sifat lapisan tanah padat berubah menjadi cairan, sehingga tidak mempan menopang beban bangunan di atasnya. Doktor lulusan Universitas Okayama, Jepang, itu belakangan mengamati amblesnya tanah setelah terjadi gempa di beberapa daerah di Tanah Air. Menurut dia, likuifaksi bisa terjadi dengan syarat tertentu, seperti kondisi lahan yang tidak padat. Misalnya, di kawasan Jakarta Utara. Di sini tanahnya dibentuk dari pasir, endapan bekas delta sungai, dan bahan-bahan lainnya. Tanah semacam itu cenderung tidak padat. Kedua, sumber air yang dangkal di daerah itu. Misalnya, kedalamannya hanya 2 hingga 4 meter di bawah permukaan tanah. Kawasan Jakarta Utara memang memenuhi syarat itu. Likuifaksi di daerah tersebut akan terjadi jika ada gempa dengan kekuatan mencapai MMI (modified mercally intensity) VI. MMI mengukur kekuatan gempa berdasarkan dampaknya, dengan skala I hingga XII. Pada skala MMI I, getaran tidak dirasakan, kecuali dalam keadaan luar biasa oleh beberapa orang. MMI XII terjadi jika bangunan-bangunan yang kena gempa hancur sama sekali. Gelombang tampak pada permukaan tanah. Pemandangan menjadi gelap. Benda-benda terlempar ke udara. Likuifaksi terjadi pada MMI VI jika getaran dirasakan semua penduduk yang kebanyakan terkejut dan lari ke luar, plester dinding jatuh, dan cerobong asap pabrik rusak. Pada 1883, ketika Gunung Krakatau meletus, Jakarta mengalami gempa dengan kekuatan MMI VI. Pada saat itu, banyak bangunan hancur. Sejumlah lahan juga ambles. Namun, jika guncangan gempa hanya sebentar, tidak akan terjadi likuifaksi. Sedangkan getaran lindu terjadi jika waktunya melebihi satu menit. Gempa yang berlangsung dalam rentang waktu satu menit sangat sedikit. Misalnya gempa yang terjadi di Bantul, Yogyakarta. Dengan getaran lebih dari satu menit, banyak kawasan di Bantul yang ambles. Bila terjadi gempa serupa di Jakarta, air bawah tanah yang berada pada posisi dangkal akan naik. Air ini bakal bercampur dengan tanah yang ada di atasnya. Pada kondisi ini, lahan akan sangat labil. Rekatan antar-unsur tanah makin longgar karena tercampur air. Beban bangunan di atasnya bakal menekan tanah. Lahan yang sudah lembek gampang turun dan ambles. Karena itu, dia menilai, reklamasi yang dilakukan di pantai Jakarta Utara untuk tempat tinggal sangat berani. Sebab, bila terjadi gempa, kemungkinan amblesnya lahan sangat kuat. ''Lahan-lahan di kawasan semacam itu tidak bakal pernah kokoh, meski sudah dilakukan pemadatan bertahun-tahun dan menggunakan pengeras lainnya,'' katanya. Untuk mengurangi amblesan yang terjadi di Jakarta, pemerintah melakukan berbagai cara. Misalnya lewat Peraturan Gubernur Nomor 68/2005, yang mengharuskan setiap bangunan menyisakan 30% lahan untuk sumur resapan. ''Penyediaan lahan itu adalah syarat untuk mendapatkan IMB (izin mendirikan bangunan) dan IPB (izin pemanfaatan bangunan),'' kata Hari Sasongko, Kepala Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan. Persoalannya, beleid itu baru muncul pada 2005. Maka, bangunan sebelumnya memang tidak memiliki lahan untuk resapan. Untuk mengatasinya, menurut Hari, izin KMB (kelayakan menggunakan bangunan) dievaluasi lima tahun sekali. ''Untuk perpanjangan KMB, kami mengharuskan pemilik bangunan membuat sumur resapan, paling tidak 15% dulu,'' katanya. Sebab, kalau harus langsung 30%, agak susah. ''Soalnya, mungkin harus membongkar area parkir dan sebagainya,'' ia menjelaskan. Sanksi untuk pemilik bangunan yang tidak mematuhi ketentuan itu, kata Hari, adalah pencabutan IPB dan IMB. ''Tapi selama ini memang belum ada pelanggaran yang sampai kami harus mencabut izinnya,'' ujar Hari. Namun, menurut Hasanuddin, yang perlu diregulasi secara ketat adalah penyedotan air tanah. ''Aturannya sudah bagus, tetapi pengawasannya yang lemah,'' ujarnya. Padahal, sebenarnya cukup mudah mengawasinya. ''Misalnya, di dekat kawasan tertentu, berdasarkan pantauan GPS (global positioning system), kok amblesan tanahnya besar. Tapi laporan pengambilan air tanahnya kecil,'' ia menambahkan. Gejala penurunan permukaan tanah itu, kata Hasanuddin, merupakan penyakit kota besar. Maka, kota-kota seperti Bandung, Semarang, Medan, Denpasar, dan Surabaya harus mewaspadai fenomena itu. ''Jakarta, Semarang, Bandung sudah kami ukur, dan land subsidence (penurunan tanah)-nya memang ada,'' katanya. Sedangkan di Surabaya, Denpasar, dan Medan, penurunan tanahnya sudah terdeteksi. ''Pemerintah harus lebih intensif mengawasi penurunan tanah ini,'' ujarnya. Rohmat Haryadi, Basfin Siregar, dan Sulhan Syafi'i (Bandung) Post Date : 26 Desember 2007 |