|
BANDUNG, (PR).Permukaan air tanah di cekungan Bandung dalam kondisi kritis karena setiap tahun terus mengalami penurunan 2 meter. Kondisi itu dinilai sangat mengkhawatirkan. Sebab, kawasan cekungan Bandung, yang saat ini dihuni sedikitnya 6 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, menghadapi persoalan sumber daya air yang serius. Kondisi itu mengemuka dalam "Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: Pengelolaan Sumberdaya Air dan Lahan di Cekungan Bandung", yang diadakan di Kompleks LIPI Bandung, Jln. Sangkuriang, Rabu (22/2). Dalam diskusi yang membahas karakteristik curah hujan, kuantifikasi sumber daya air, aliran air tanah, serta kondisi dan masalah lingkungan cekungan Bandung itu, diungkapkan pula bahwa dewasa ini di cekungan Bandung, telah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya air permukaan dan air tanah. "Hal ini bisa dilihat dari terjadinya banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, penurunan kualitas Sungai Citarum, terutama akibat air limbah dari aktivitas industri dan domestik, serta kondisi 96% air permukaan tidak memenuhi baku mutu untuk air minum, perikanan, peternakan, pertanian, usaha perkotaan, industri, dan PLTA," kata salah seorang pembicara, Dr. Wahyoe Soepri Hantoro. Disebutkan, yang paling mengkhawatirkan, adalah terjadinya penurunan muka air tanah setinggi 2 meter per tahun. "Bisa kita bayangkan, dengan jumlah penduduk sebanyak 6 juta jiwa di cekungan Bandung dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, sumber daya air menjadi semakin kritis. Padahal, masyarakat yang tinggal di cekungan Bandung sangat bergantung pada "cincin" alam yang mengitari wilayahnya," kata Wahyoe. Hal itu diperburuk dengan hasil penelitian yang menunjukkan beberapa sumber daya alam lainnya, yang berfungsi sebagai kawasan konservasi air, juga mengalami penurunan kualitas. "Misalnya, hutan yang mengalami penurunan kualitas akibat berubah fungsi menjadi lahan budi daya, dan makin besarnya luas lahan kritis. Lainnya, perubahan bentang alam tidak diikuti upaya pelestarian lingkungan," ujarnya. Kualitas menurun Wahyoe mengatakan, isu utama permasalahan lingkungan di cekungan Bandung adalah akibat tekanan penduduk dan aktivitas perkotaan yang mendorong terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam lingkungan. Dari sisi kemasyarakatan, terlihat jelas aspek kependudukan, kelembagaan, dan regulasi lingkungan merupakan penyebab masalah. Untuk itu, diperlukan upaya terobosan dengan kemampuan memotong masalah dan melampaui laju kerusakan lingkungan saat ini. Upaya tersebut harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan tidak hanya mengandalkan dana dan tindakan dari pemerintah saja. "Selain pada masalah kemasyarakatan, perlu penekanan penanganan masalah yang berkaitan dengan air. Karena air dan sungai merupakan etalase lingkungan yang memberi respons langsung pada setiap perubahan," kata Wahyoe. Kondisi lain menunjukkan, besarnya rasio daerah tutupan yang dapat meningkatkan koefisien air larian, selanjutnya dapat menyebabkan banjir dan mengurangi volume resapan air tanah. "Lalu, meningkatnya kebutuhan permukiman, perdagangan, industri, dan kota baru mandiri, diperparah dengan kecenderungan pengembang langsung memanfaatkan lahan yang telah dimiliki dan dibangun sesuai peruntukannya," katanya. Diskusi yang digelar di akhir seminar menggarisbawahipengawasan lingkungan akibat kegiatan pembangunan di cekungan Bandung belum dilakukan secara terpadu antar- kota/kabupaten terkait, pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah pusat, serta memerlukan peran aktif semua stakeholder. "Kependudukan, kelembagaan, dan regulasi lingkungan merupakan unsur penting penyebab masalah di sisi kemasyarakatan, namun disisi lain terlihat bahwa hampir seluruh masalah berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan tata air dan turunannya," kata Wahyoe. Curah hujan Pembicara lain, Ida Narulita mengemukakan, luas daerah cekungan Bandung sekitar 233.000 hektare. Sebagian besar berupa pegunungan yang berketinggian antara 2.000-2.600 dpl. "Dengan kondisi seperti ini, karakter hujan yang terjadi di cekungan Bandung, bila dilihat dari sisi hujan sebagai pemasok air, bukan tergolong karakter yang menguntungkan," katanya. Hasil penelitian Narulita, daerah tangkapan hujan di Bandung utara relatif lebih sempit dibanding Bandung bagian selatan. Perbandingan distribusi curah hujan rata-rata 300 mm/bulan, menunjukkan daerah cekungan Bandung sangat responsif terhadap hujan. "Hal ini menjadi salah satu indikator terjadinya gangguan secara fisik di cekungan Bandung." Ia menjelaskan dua karakter intensitas hujan di cekungan Bandung, yakni hujan intensitas tinggi dengan durasi cepat yang cenderung berpotensi mengakibatkan banjir, dan intensitas rendah dengan durasi lama yang cenderung berpotensi menjadi penyebab longsor. "Padahal, karakter hujan dengan intensitas rendah dan durasi lama sangat baik untuk resapan air tanah. Namun, apabila tanah sudah jenuh, hujan berpotensi menimbulkan banjir," kata Nurlita. (A-159) Post Date : 23 Februari 2006 |