|
Jakarta, Kompas - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dianggap tidak mampu melindungi hak dasar warga akan kebutuhan air minum. Salah satu indikasinya, pembelian air minum Rp 1.345 per meter kubik dari Tangerang dijual kembali dengan harga empat kali lipat atau rata-rata Rp 5.473 per meter kubik. Saya dapat memahami selisih harga penjualan air minum yang terlampau tinggi tersebut, akibat pelanggan juga dibebani membayar utang Perusahaan Daerah Air Minum DKI kepada Departemen Keuangan yang kini masih Rp 1,6 triliun. Selain itu, juga beban kerugian operator penyedia air minum selama 1998-2004. Tetapi, tingginya selisih harga penjualan itu tetap menunjukkan perlindungan pemerintah terhadap masyarakat akan kebutuhan dasar air makin mengecil, kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih, Minggu (12/2). Menurut Indah, dalam situasi demikian Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI perlu menempuh lima hal. Yaitu meliputi permintaan pembebasan tagihan abonemen per bulan bagi 13 persen pelanggan dari sekitar 700.000 pelanggan yang tidak dapat terpenuhi kebutuhan air bersih atau air keran sering tidak mengucur, menetapkan kenaikan tarif otomatis semester I/2006 hanya satu digit atau sekitar delapan hingga sembilan persen. Operator air minum juga diwajibkan menetapkan standar pelayanan secara minimal. Kemudian penerapan penalti bagi kedua operator perlu diperjelas bila standar minimal tidak dipenuhi. Dan terakhir, penetapan penyesuaian tarif otomatis antara 2005-2007 tidak selamanya harus naik. Negosiasi Secara terpisah, Direktur Umum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) DKI Didiet Haryadi mengemukakan, selisih penjualan air minum dari Tangerang tinggi akibat pengeluaran biaya distribusi dengan menggunakan pompa listrik di Lebak Bulus dan Kebun Jeruk. Pihak Tangerang kini juga mengajukan kenaikan harga dari Rp 1.345 menjadi Rp 1.800 per meter kubik. PDAM DKI belum bisa menerima kenaikan harga tersebut. Saat ini masih dinegosiasikan, kata Didiet. Kebutuhan air minum yang dibeli dari Tangerang, kemudian disebut sebagai air curah, lanjut Didiet, mencapai 2,8 meter kubik per detik. Selebihnya, produksi air minum DKI membeli air baku dari Bendungan Jatiluhur yang dikelola Perum Jasa Tirta II dengan harga Rp 122 per meter kubik. Harga Rp 122 per meter kubik itu juga hasil negosiasi baru-baru ini. Sebelumnya, harga air baku itu Rp 100 per meter kubik. Lalu pihak Jasa Tirta mengajukan kenaikan menjadi Rp 135 per meter kubik, kata Didiet. Ditunda DPRD DKI hingga kini masih bersikeras dengan meminta Gubernur DKI Sutiyoso supaya menunda kenaikan tarif otomatis semester I/2006 hingga enam bulan ke depan. Permintaan penundaan tersebut karena pihak operator memiliki kewajiban yang belum dipenuhi kepada DPRD. Kewajiban tersebut antara lain menyampaikan hasil evaluasi keuangan atas penyesuaian tarif yang sudah ditempuh sebelumnya, kata Wakil Ketua DPRD DKI Maringan Pangaribuan. Tuntutan DPRD seperti itu, lanjut Maringan, tidak menyalahi isi surat keputusan atau penetapan penyesuaian tarif otomatis (PTO), baik yang dikeluarkan DPRD maupun Gubernur Sutiyoso. Maringan mengakui bahwa pihak operator penyedia air minum memegang ketentuan sistem keuangan tertutup yang diatur dalam kontrak perjanjian kerja sama tahun 1998-2022. Seharusnya, ketentuan dalam kontrak ini perlu dikaji kembali. (NAW) Post Date : 13 Februari 2006 |