Air dari Perut Bumi

Sumber:Kompas - 04 Desember 2005
Kategori:Air Minum
Ketika nanti bendungan di Sungai Bawah Tanah Bribin selesai dibangun, petualang seperti Thomas Suryono dan Bagus Yulianto dari Acintyacunyata Speleological Club (ASC) tak lagi dapat menelusuri tempat itu seperti dulu. Tetapi, ada kebahagiaan jauh lebih besar: Kian banyak warga Gunung Kidul mendapatkan air bersih.

Bribin adalah salah satu sungai di bawah permukaan tanah di kawasan karst Gunung Sewu yang membujur mulai dari Wonogiri (Jawa Tengah), Gunung Kidul (Yogyakarta), hingga Pacitan (Jawa Timur) dengan luas total 3.300 kilometer persegi.

Melalui serangkaian ekspedisi bersama pihak-pihak lain, ASC mendata dan memetakan sistem sungai bawah tanah di wilayah itu. Mereka sering dititipi pesan masyarakat Gunung Kidul saat hendak menelusuri gua, Sumber air, itu yang mereka minta untuk kami carikan selama penelusuran gua, ucap Thomas.

Kekeringan di Gunung Kidul kerap menjelma sebagai bencana. Pada musim kemarau, penduduk hanya dapat memanfaatkan sekitar 260 telaga alam atau ceruk kecil berisi air yang sekitar 90 persen di antaranya akan kering sebulan setelah musim hujan berakhir. Padahal, kemarau di daerah itu berlangsung minimal empat bulan per tahun. Pada saat seperti itu, masyarakat Gunung Kidul membeli air dengan harga tiga-empat kali lipat lebih mahal dari yang dibayar orang Jakarta.

Sejak penelusuran gua-gua di Gunung Kidul yang pertama kali oleh ekspedisi Inggris pada awal 1980-an, data sumber air dikumpulkan terus oleh penelusur gua ASC, sampai mereka memetakan Sungai Bawah Tanah Bribin. Di Bribin, Thomas dan kelompoknya menggunakan radioisotop dan zat pewarna untuk mendeteksi alur sungai. Paling tidak ada tiga sistem hidrologi besar di bawah permukaan Gunung Kidul: Sungai Bribin, Sungai Suci, dan Sungai Buh Putih. Semuanya mengalir senyap di perut bumi lalu bermuara di Pantai Baron, selatan Yogyakarta.

Bribin memang pernah dibendung dan beroperasi sejak tahun 1978, langkah pionir untuk meninggalkan cara tradisional yang memakai bambu dan tali dalam mengangkat air. Tetapi, biaya operasionalnya mahal, meliputi pemeliharaan jaringan pipa, generator, plus bahan bakar.

Pertama di dunia

Pada tahun 2000 Profesor Franz Nestmann dari Institut fur Waser und Gewasserentwicklung pada Universitat Karlsruhe (Jerman) mendengar ihwal Bribin dari Dr As Natio Lasman dari Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) pada sebuah forum di Yogyakarta. Franz lalu melakukan riset di lokasi bersama ASC dan menghubungi Sudiyono dari Proyek Pengembangan Air Baku (P2AB) yang sempat mengikuti ekspedisi pada awal 80-an. Kesimpulan mereka: bendungan baru harus dibuat di Bribin dengan teknologi anyar pula.

Proposal Franz ternyata disambut luas di Jerman, lalu Universitat Karlsruhe sukses menggandeng kalangan industri. Pihak lokal tak hanya diwakili ASC yang memiliki data serta memandu studi lokasi dan prosedur keamanan di dalam gua. Ada pula Kementerian Ristek, Batan, beberapa universitas, dan Pemprov Yogyakarta.

Sistem dalam bendungan baru di Bribin adalah menutup lubang gua, kemudian menggunakan tenaga air itu sendiri untuk menggerakkan turbin dan memompa ke atas. Franz menyebutnya, Sumber energi terbarukan dengan pembangkit tenaga mikrohidro.

Tenaga listrik yang dihasilkan lebih dari cukup untuk mengangkat air itu sendiri ke permukaan tanah. Sebelumnya di China telah ada dam bawah tanah untuk irigasi atau keperluan pertanian lainnya. Tetapi, Sepengetahuan kami, ucap Franz, inilah proyek pertama di dunia yang mengombinasikan dam bawah tanah dan sumber tenaga mikrohidro.

Hal terpenting yang dilakukan adalah pengeboran vertikal, mulai dari permukaan tanah hingga ke alur sungai. Tentu saja terlebih dahulu harus ditentukan di titik mana lokasinya. Itu tidak mudah karena harus persis di atas aliran sungai yang tidak tampak karena letaknya 100 meter lebih di bawah permukaan tanah. Di titik pertemuan lorong vertikal dan sungai bawah tanah itulah bendungan dibangun. Ini contoh sistem air bagi daerah lain yang berkarakter serupa, kata As Natio.

Itu, tentu saja, harapan besar mengingat lebih dari 8.000 desa di Indonesia rawan pasokan air bersih. Penelusur gua seperti Thomas dan Bagus pun terus menelusuri kawasan karst untuk mencari air, sumber kehidupan.Reynold Sumayku

Post Date : 04 Desember 2005