|
SOLO -- Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (PPLH-LPPM UNS) pada tahun lalu, air di lima sungai di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dinyatakan tidak layak dikonsumsi sebagai air minum alias tidak memenuhi klasifikasi mutu kelas I. Pasalnya, pencemaran di kelima sungai tersebut telah melebihi parameter baku mutu kualitas air. "Pengambilan sampel air kami lakukan pada saat musim hujan ataupun kemarau. Hasilnya, standar baku kelas I dari kualitas air sungai di sana tidak memungkinkan," ujar Kepala PPLH-LPPM UNS Ahmad saat dijumpai di ruang kerjanya kemarin. "Artinya air sungai tersebut tidak layak dikonsumsi sebagai air minum secara langsung." Tapi, Ahmad menambahkan, kalau standar baku air untuk kegiatan lainnya masih memenuhi. "Misalnya untuk pertanian, peternakan, bahkan bisa diminum asalkan ada treatment-nya, jadi diolah dulu," katanya. Kelima sungai yang merupakan anak Sungai Bengawan Solo itu adalah Sungai Swideran I, Swideran II, Garuda, Nglorog, dan Gambiran. Penelitian tersebut merupakan hasil kerja sama PPLH-LPPM UNS dengan Pemerintah Kabupaten Sragen terkait dengan penyusunan Laporan Pemantauan Kualitas Air Kabupaten Sragen 2007. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air dibagi menjadi empat kelas. Kelas I adalah peruntukan air untuk air minum. Kelas II untuk sarana rekreasi, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman. Kelas III untuk sarana pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman, sedangkan kelas IV untuk pertanaman. Saat ditanya terkait dengan faktor penyebab utama pencemaran di kelima sungai itu, Ahmad mengatakan masih sulit diketahui secara pasti. Ini karena terkendala tidak adanya pemetaan kondisi sungai tersebut oleh pemerintah kabupaten setempat. Ahmad mengilustrasikan, pencemaran di Sungai Bengawan Solo tidak hanya bisa diketahui di bagian hilir, misalnya di Wonogiri. Tapi juga harus dilakukan penelitian sedari hulu hingga hilir dan sepanjang daerah yang dilewatinya, seperti Sragen, Solo, juga Sukoharjo, sehingga akan diketahui zat-zat pencemarnya yang terlarut hingga ke hilir. "Misalnya, kalau penyebabnya adalah limbah pabrik, berarti harus ada upaya meminimalisasi pencemaran limbah dari pabrik tersebut. Jika dari pestisida untuk pertanian, juga akan diketahui itu di mana. Jadi itulah pentingnya pemetaan," kata Ahmad. Dari pencemaran tersebut, Ahmad menilai yang terbanyak adalah adanya suspensi (zat pencemar yang larut dalam endapan). "Khususnya pada musim hujan, paling banyak adanya suspensi. Jadi sungai banyak yang tercemar karena banyak sedimentasi, terbawa oleh lumpur," dia mengimbuhkan. PITO AGUSTIN RUDIANA Post Date : 03 Mei 2008 |