|
Sungguh indah dan eksotik alam tempat hidup masyarakat Asmat di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Seperti memasuki sebuah dunia lain. Sungai-sungai yang membelah kampung-kampung warga Asmat, ranting-ranting pepohonan yang menaungi aliran sungai, dan hamparan kehijauan pohon bakau. Namun, di balik keindahan tersebut tersimpan keganasan alam. Masyarakat Asmat yang sebagian besar tinggal di kawasan rawa itu sulit mendapatkan air bersih. Rawa seakan menjadi sebuah kutukan. Bahkan masyarakat yang tinggal di kota jembatan Agats mempunyai legenda tersendiri terkait kutukan tersebut. Konon, Agats dulunya tidak berada di atas rawa. Orang Asmat berjalan di atas buminya. Sampai suatu saat datanglah seorang misionaris bernama Jan Smit. Pada suatu ketika Jan Smit berselisih pendapat dengan seorang warga yang berujung kepada penembakan sang pengabar agama tersebut. Satu kali tembakan sang misionaris jatuh, dua kali tembakan dia masih bertahan, dan pada tembakan ketiga Jan Smit meregang nyawa. Konon, sebelum mengembuskan napas terakhir, Jan Smit sempat berujar bahwa tanah Agats akan berubah. Setelah itulah diyakini tanah menjadi berlumpur dan orang terpaksa membangun jembatan dan titian. Ada juga warga yang bercerita, Jan Smit tewas setelah tembakan kelima. Mantan Uskup Agats, Alphonse Sowada, yang empat puluh tahun tinggal di sana tersenyum ketika diceritai kisah itu. Alphonse sempat menjadi uskup di sana lantaran menggantikan tugas Jan Smit. "Ah, itu hanya cerita saja. Orang Agats punya mitosnya sendiri," ujarnya. Menurut dia, Jan Smit ditembak warga asal Sorong bernama Fimbai. Kejadiannya tahun 1965. Fimbai yang mendapat prestasi karena melawan Belanda itu anti dengan Jan Smit dan ingin mengambil alih sekolah. Sekolah di Asmat memang dirintis oleh kaum misionaris. Konon, menurut Alphonse, tahun 1960-an awal di Agats, yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Asmat, memang tidak ada jembatan. Alphonse punya teori tersendiri tentang perubahan lingkungan di Agats tersebut. Dia menduga apa yang terjadi di Agats merupakan kerusakan lingkungan akibat penebangan pohon. Apa pun legendanya, realitasnya kawasan rawa tidak memberikan banyak pilihan kepada warga untuk mengakses air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan air minum, warga mengandalkan air hujan. Air hujan yang luruh dari atap ditampung dengan wadah di bawahnya. Di daerah Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Agats adalah kawasan permukiman terbesar di Asmat. Di kota yang berdiri di atas lumpur itu, berbagai fasilitas publik tersedia secara permanen, mulai dari sekolah, puskesmas, gereja, telepon, dan jaringan listrik yang hidup mulai malam hari. Akan tetapi, untuk mendapatkan air bersih, penduduk Agats mengandalkan air hujan. Desain atap rumah ditata sedemikian rupa sehingga seluruh air hujan yang tercurah ke atap rumah dapat ditampung dalam tandon air. Malanglah masyarakat tidak mampu karena mereka tidak bisa membeli tandon atau tong untuk menampung air. Jika dalam beberapa hari tidak turun hujan, masyarakat miskin Agats yang utamanya berada di dusun-dusun akan menjadi orang-orang pertama yang kehabisan air bersih. Pada suatu pagi bulan Oktober lalu, Maria, warga kampung Syuru di Distrik Agats, menurunkan jeriken-jeriken air dari perahunya. Air pasang pagi itu dimanfaatkan untuk mengambil air di hutan dengan perahu lesung yang dia dayung sendiri. Hujan sudah tak datang beberapa hari dan tak ada air lagi untuk keluarganya. "Air ini tidak terlalu bersih, tapi masih beruntung daripada tidak ada sama sekali," ujarnya. Dia lalu menuangkan air dari jeriken ke sebuah wadah putih. Air berwarna kemerahan tergenang di dalamnya. Untuk berburu dan meramu di hutan bakau, air hujan juga menjadi satu-satunya sumber air bersih. Jika air hujan telah habis, satu-satunya air tawar yang tersedia adalah air bakau berwarna bening kemerahan. Tampungan air bakau yang tawar pun tidak tersedia di banyak tempat, mengingat rendahnya elevasi tanah di pesisir Asmat. Setiap hari pasang air laut masuk ke perairan darat Asmat, hingga sejauh 80 kilometer dari garis pantai. Pemenuhan kebutuhan dasar Ketika Bupati Asmat Jevensius Biakay mengangankan instalasi air bersih bagi rakyat Asmat, maka kawasan pegunungan Asmat pun menjadi tumpuan harapan. Sebuah survei pun dilakukan pada 8 Oktober lalu, dengan menyusuri hilir Sungai Ulir, terus naik ke arah hulu sungai di Dumaten. Daratan bertanah keras pertama yang ditemukan tim survei adalah Sagapu, yang harus ditempuh selama empat jam perjalanan speedboat dari muara Sungai Ulir. Daratan keras itu memiliki sumber air tanah, tetapi ketinggian Sagapu hanya sekitar 3 meter dari permukaan laut (DPL). Untuk memanfaatkan sumber air tanah di Sagapu, diperkirakan Pemerintah Kabupaten Asmat harus memompa sendiri air tanah itu dengan jaringan pipa air bersih sepanjang 50 kilometer lebih. Harapan agar aliran air dari kawasan pegunungan menuju kawasan pantai juga sumber tenaga penggerak turbin listrik tidak akan terwujud jika air tanah diambil dari Sagapu. Alternatif lain pun dicari. Tim survei pun memburu sumber air di Ti, Koba, Se, dan Dumaten. Tim bahkan mencoba mencari sumber air di Suru-suru, wilayah perbatasan yang tengah diperebutkan Kabupaten Asmat dan Kabupaten Yahukimo. Di antara Dumaten dan Suru-suru ditemukan sebuah tempat yang ideal untuk membangun instalasi air bersih. Lokasi itu berjarak 123 kilometer dari Kota Agats. Data survei sementara menyimpulkan, elevasi air berada 20 meter DPL sehingga air tanah dapat disalurkan dengan memanfaatkan energi potensial selisih elevasi itu. Pembangunan instalasi air bersih sendiri masih membutuhkan banyak waktu karena lokasi itu jaraknya sangat jauh di pedalaman Asmat. Untuk mencapai lokasi itu, jarak yang harus ditempuh dengan menyusuri sungai mencapai 211 kilometer, dengan waktu tempuh tidak kurang dari delapan jam. Volume air tanah di kawasan itu belum disurvei sama sekali. Jika penyaluran air tanah itu membutuhkan tenaga pompa, pengiriman bahan bakar pompa ke Dumaten menjadi masalah tersendiri, mengingat transportasi sungai yang mahal adalah satu-satunya cara mencapai Dumaten. "Bagaimana pun, kami harus memulai rencana ini. Ketergantungan terhadap air hujan sebagai sumber air bersih bagaimanapun menimbulkan biaya tinggi bagi masyarakat. Air bersih pun tidak tersedia secara terus-menerus," kata Biakay. Ketua Forum Komunitas Pengelolaan Kualitas Air Minum Abdullah Muthalib dalam sebuah kesempatan di Jakarta mengatakan, daerah rawa dan pantai merupakan kawasan yang paling sulit mengakses air bersih. Ini karena sumber air permukaan umumnya ialah air payau yang mengandung garam, sedangkan sumber air dalam tanah sangat sulit. Air hujan jadi alternatif. Penggunaan air hujan untuk mencuci memang masih memungkinkan, tetapi kurang baik untuk diminum karena menyebabkan kerusakan gigi. "Air hujan kekurangan mineral antara lain fluor sehingga gigi kurang mendapat perlindungan," ujar Abdullah, mantan Direktur Penyehatan Air dan Pengamanan Limbah Departemen Kesehatan. Secara tradisional, masyarakat setempat beranggapan dengan mengunyah sirih bersama kapur dapat menguatkan gigi. Abdullah mengatakan, penyaringan secara konvensional dapat dilakukan. Namun, air belum siap minum dan keberlanjutannya membutuhkan perawatan intensif. "Dalam beberapa proyek uji coba di sejumlah daerah, ternyata filter mudah macet atau tersumbat karena masyarakat malas membersihkan dan pemerintah daerah tidak terlalu peduli," ujarnya. Penyelesaian lain ialah dengan menggunakan teknologi reverse osmosis. Teknologi yang singkatnya berupa penyaringan pada tingkat molekul tersebut telah digunakan sejak awal tahun 1970-an. Biasanya, untuk memproses air laut guna mendapatkan air tawar. Abdullah pernah tergabung dalam kegiatan pembangunan reverse osmosis di sejumlah daerah. Dengan teknologi tersebut, air yang dihasilkan layak minum cukup banyak dalam waktu cepat. Namun, biaya yang dikeluarkan mahal dan perawatan sulit. Pada tahun 1999, untuk membangun instalasi dengan hasil 10 meter kubik air per hari dibutuhkan biaya Rp 600 juta untuk satu desa. Sayangnya, perkembangan program tersebut tidak memuaskan karena lagi-lagi warga dan pemerintah daerah tidak merawat instalasi itu sehingga akhirnya rusak. Selain mahal, perawatan juga membutuhkan teknisi khusus. Setidaknya, untuk warga miskin yang tidak mempunyai penampungan air hujan dan paling rawan kekurangan air bersih dapat difasilitasi agar memiliki tandon komunitas sebagai penyelesaian sementara. Yang terpenting, kebutuhan dasar warga akan air terpenuhi. Sungguh ironis. Kekayaan bumi Papua tak hentinya digali dan dikuras. Namun, ketika ada salah satu pojoknya kekurangan hak dasar, kok ya sulit memenuhinya? Indira Permanasari dan Aryo Wisanggeni Genthong Post Date : 02 November 2006 |